Saturday, January 25, 2014

Gamma Rangers: Blackout (Prolog)



Gamma Rangers: Blackout
Prolog


Satuan Delta Force adalah satuan elit militer Indonesia. Satuan ini dibentuk atas prakarsa Kapten Blues, yang sekaligus menjadi anggota pertama bersama tim Alpha. Personel Delta Force dipilih dengan proses seleksi yang ketat, kebanyakan anggotanya adalah yang terbaik di satuan masing-masing. Menjadi anggota Delta Force adalah impian setiap prajurit militer. Karena prestasinya, Kapten Blues dipromosikan menjadi Kolonel dan dipercaya menjadi Komandan di Pangkalan Delta Force.

Saat ini Kolonel Blues sedang merenung di kantornya, memandang sebuah map yang terbuka, berisi laporan dari intelijen. Dia baru saja membaca berkas laporan itu, yang menyebutkan ada aktivitas perekrutan pasukan bayaran yang dilakukan oleh Mayor Bishop. Nama yang sangat familiar bagi Kolonel Blues, karena Mayor Bishop adalah orang kepercayaan Jendral Sodatoy, mereka berdua adalah mantan elite militer yang membelot dan membentuk pasukan separatis.

Saat masih aktif bersama tim Alpha, Kolonel Blues beberapa kali berhasil menggagalkan upaya pemberontakan pasukan Sodatoy. Tetapi di balik keberhasilan itu, ada satu hal yang membuat Kolonel Blues penasaran, yaitu keberhasilan Jendral Sodatoy untuk lolos dari sergapan tim Alpha.

Berkas intelijen itu menyebutkan perekrutan pasukan oleh Mayor Bishop dilakukan di areal hutan lindung lereng gunung Arjuno. Tampaknya lokasi tersebut hanya dipakai untuk persiapan saja, sedangkan target mereka masih belum diketahui. Setelah selesai membaca sekali lagi berkas itu, Kolonel Blues bergegas merapikan dan kemudian dia berjalan menuju ruangan kontrol.

Gedung utama pangkalan terdiri dari tiga lantai, dimana ruang kontrol berada di bagian tengah lantai teratas. Ruangan ini berbentuk persegi dengan meja lebar terletak di tengah, sedang di ujung ruangan terdapat sebuah lemari bertingkat yang menutup seluruh tembok di belakangnya. Di ujung berlawanan terdapat sebuah monitor besar dan beberapa monitor kecil di kedua sisinya, sebuah panel besar yang rumit terpasang di depan rangkaian monitor tersebut.

Mengetahui Kolonel Blues masuk  dalam ruangan, operator panel segera berdiri dan memberi hormat.

"CB, apakah tim Gamma masih standby di pangkalan?", tanya Kolonel setelah membalas hormat bawahannya.

"Akan saya periksa", jawab CB singkat, kemudian memeriksa jadwal di layar. "Joker sejak delapan bulan yang lalu ditugaskan secara langsung oleh Jendral Mike Coolio dalam sebuah misi khusus".

"Lainnya", tanya Kolonel Blues tak sabar.

"Explorer dan Ace sedang melakukan pemetaan topografi sedangkan Saboteur melakukan pengiriman amunisi ke squadron udara. Saat ini hanya Armstrong dan Spy yang bebas tugas", rinci CB.

"Bagus, panggil Spy kemari. Aku ingin mengadakan briefing tertutup 30 menit lagi", perintah Kolonel.

"Siap", CB segera menghubungi Spy melalui saluran telepon internal pangkalan.


* * * * *

Pada saat yang sama di bagian markas yang lain, seseorang sedang berlatih menggunakan senjata untuk serangan jarak dekat. Malangnya lawan berlatihnya adalah orang yang dikenal sangat tangguh dalam pertarungan jarak dekat, hanya dalam satu serangan dia sudah tergeletak di tanah. Mereka berdua adalah Sersan Spy dan Kopral Armstrong.

"Yo Spy, kau baik-baik saja?", kata Armstrong tanpa menyadari kondisi Spy. Spy hanya meringis.

"Kelihatannya semua oke", akhirnya Spy menjawab. Dalam hati dia bersyukur tidak mengalami patah tulang. Armstrong membantu Spy untuk berdiri, ketika ada seorang prajurit yang memasuki ruangan tempat mereka berlatih, kemudian memberi hormat.

"Lapor, Sersan Spy. Kolonel Blues memerintahkan Anda untuk segera menghadap ke ruangan kontrol", kata prajurit itu dengan tegas.

"Baik, terima kasih", jawab Spy dengan kikuk, dia tidak pernah terbiasa dengan ritual hormat menghormati seperti ini.

"Ada masalah? Kenapa Kolonel mencarimu?", tanya Armstrong setelah prajurit pembawa pesan itu pergi. Spy hanya mengangkat bahu, dia sendiri juga bertanya-tanya mengapa Kolonel Blues tiba-tiba memanggilnya.

* * * * *

Memasuki ruang kontrol, Spy sedikit kikuk ketika mengetahui hanya ada Kolonel Blues dan CB. Setelah memberi hormat dan menyapa singkat, Kolonel Blues mempersilahkannya untuk duduk di kursi yang bersebelahan dengan CB. Spy hanya sempat memberi CB dengan pandangan bertanya yang dibalas CB dengan sedikit menaikkan bahunya yang menunjukkan kalau dia juga tidak tahu apa maksud pertemuan kali ini.

"Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku mengadakan rapat tertutup hanya dengan tiga orang", Kata Kolonel Blues memecah keheningan, tanpa menunggu seorangpun menjawab dia melanjutkan, "Seperti yang sudah kalian ketahui, kita selama ini mencoba menghentikan gerakan separatis yang dipimpin oleh Jendral Sodatoy, tetapi ia selalu berhasil menemukan celah untuk lolos. Pagi ini aku mendapatkan sebuah laporan intelijen bahwa di lereng gunung Arjuno sedang ada gerakan rekrutmen pasukan oleh Mayor Bishop, tangan kanan Jendral Sodatoy". Kolonel berhenti sebentar, memberikan kesempatan Spy dan CB memahami penjelasannya.

"Untuk itu Spy, aku memerintahkanmu untuk menyusup masuk menjadi salah satu anggota mereka. Cari info sebanyak-banyaknya tentang tujuan dan target mereka, lalu laporkan ke pangkalan. CB akan standby di ruang kontrol untuk menerima laporanmu sekaligus memberitahukan informasi terbaru. Ada pertanyaan?", Kolonel Blues mengakhiri penjelasannya dengan memandang ke arah mereka berdua.

Spy terlihat tidak terlalu terkejut mendengar penjelasan Kolonel Blues, pengalamannya di Divisi Intelijen dulu memang mengharuskan dia untuk menyusup dan bertindak sebagai mata-mata.

"Bagaimana dengan anggota tim Gamma yang lain, Kolonel?", tanya CB.

"Mereka akan bergerak nanti. Tugasmu adalah memastikan mereka standby di pangkalan sampai aku memberikan perintah lanjutan", jawab Kolonel Blues tegas sekaligus mengakhiri briefing tertutup ini.

* * * * *

Thursday, January 23, 2014

Sebuah Cerita Pagi



"Arta, hari Minggu nanti kamu sibuk nggak?", tanya Lina setelah meminum es tehnya. Siang itu cuaca panas, penjual minuman dingin di kantin sekolah diserbu para siswa yang kehausan.

"Minggu? Aku sih fleksibel saja", jawab Arta sambil bersiap menyesap kopi hitamnya. Anak ini memang penggemar kopi hitam dan anti minuman dingin. Bahkan dalam cuaca sepanas inipun dia tetap setia meminum kopi hitam yang mengepulkan uap.

"Kita jalan yuk?", ajak Lina dengan senyum manisnya.

"Kemana?", tanya Arta lagi.

"Nggg... Aku pinginnya kamu yang pilih tempat", kali ini Lina menjawab sambil nyengir.

"Beneran nih? Ntar kamu kurang suka sama tempatnya?", goda Arta.

"Hehehe... Aku sih fleksibel saja", jawab Lina dengan nada manja.

"Eits... Itu kata-kataku", kata Arta sambil menyentil ujung hidung kekasihnya itu. Selanjutnya tawa renyah mereka membuat suasana terasa sejuk di sudut kantin sekolah itu.

* * * * *

"Eh, nak Arta. Tumben pagi-pagi sudah main kesini?", sambut Bu Sarah, ibunda Lina. Memang saat itu baru pukul enam pagi ketika Arta menjemput Lina.

"Iya, Tante. Saya ingin mengajak Lina jalan-jalan pagi", jawab Arta dengan sopan.

"Oh, pantas saja Lina minta dibangunkan lebih awal. Ada kencan pagi ternyata", goda Bu Sarah sambil tersenyum. Senyum manis yang menurun ke putrinya.

* * * * *

Jarum jam baru menunjukkan tiga puluh menit lewat dari pukul enam pagi ketika mereka berdua memasuki area Pasar Tugu. Pasar Tugu yang berada di area parkir Stadion Gajayana Malang ini awalnya hanya sekumpulan kecil pedagang kaki lima. Mereka berjualan disini karena minggu pagi selalu ramai oleh warga yang berolahraga.

Semakin lama, semakin banyak pedagang yang ikut mencari rejeki disini. Tak hanya makanan dan minuman, tetapi juga bermacam-macam barang dagangan digelar. Nama Pasar Tugu adalah singkatan dari "Sabtu Minggu". Disebut begitu karena para pedagang mulai mempersiapkan stan mereka hari Sabtu malam dan berdagang hari Minggu pagi sampai siang.

Suasana Pasar Tugu sangat ramai oleh pengunjung. Ada yang datang untuk tujuan olahraga pagi, tetapi banyak juga yang datang untuk menikmati wisata kuliner atau belanja murah meriah sekaligus menikmati sejuknya udara pagi kota Malang.

"Ta, bagus nggak?", tanya Lina sembari mencoba sebuah bando di stan perhiasan dan aksesori.

"Nggg...", Arta memperhatikan dengan raut serius, sedikit memiringkan kepalanya. "Bagus, tapi hiasan kumbang itu kurang cocok menurutku", pendapatnya.

"Masa? Padahal lucu lho", kata Lina sambil melepas bando, lalu memperhatikan hiasannya yang bebentuk kumbang merah hitam.

"Menurutku yang ini lebih cocok", kara Arta menyodorkan sebuah bando lebar berwarna putih dengan hiasan bola basket.

"Waaahh...", Lina dengan antusias menerima bando itu, dia langsung menyukainya. "Kok tadi aku enggak lihat ada bando ini ya?", lanjutnya masih terkagum-kagum.

"Cuma tersisa satu itu sepertinya", sahut Arta.

"Berapa harganya, Pak?", Lina langsung bertanya kepada penjual seraya mengeluarkan dompetnya.

"Maaf, Mbak. Itu bukan barang dagangan saya, tapi punya Mas itu", jawab si penjual sambil menunjuk Arta.

"Hah?", Lina mengerutkan dahi. Bingung. "Maksudnya?", lanjutnya masih kebingungan.

"Itu bando punya Mas ini", jelas si penjual. "Tadi dia mengeluarkan bando dari tasnya".

"Jadiii...", Lina memandang Arta lekat-lekat. Meminta penjelasan.

Arta tidak menjawab, hanya nyengir seperti yang biasa dia lakukan. Setelah itu dia meraih tangan Lina yang memegang bando.

"Ini bando edisi khusus", katanya sambil menekan hiasan bola basket.

"Waaahh...", Lina terperangah ketika hiasan bola basket itu terbuka. Di dalam hiasan itu tertulis namanya, dihiasi beberapa butir kristal imitasi berwarna biru. "Terima kasih, Ta", katanya sambil memberikan sebuah pelukan.

Lina merasa sangat bahagia. Dia selalu merasa senang dengan kejutan-kejutan kecil yang diberikan Arta. Hal-hal biasa, bahkan sepele, selalu bisa dijadikan sesuatu yang spesial olehnya. Lina bersyukur telah menjadi kekasih Arta.

* * * * *

"Eh, Lin... Tunggu disini sebentar ya. Tasku tertinggal di stan aksesori yang tadi", kata Arta setelah mereka berjalan tak jauh dari tempat tadi.

Lina hanya menjawab dengan anggukan, senyuman masih terkembang di wajahnya. Arta segera berlari kecil menuju stan aksesoris yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri.

"Pak Jon, terima kasih banyak ya. Nanti malam kita ngopi sama-sama", kata Arta sambil tersenyum. Dia meraih tasnya.

"Oke, Ta", jawab si penjual yang bernama Pak Jon itu sambil mengacungkan ibu jari. Arta tersenyum puas, lalu segera kembali menuju Lina yang menunggunya.

* * * * *


Photo courtesy of Taman Asmoro

Catatan:
Pasar Wisata Belanja Tugu Malang, atau lebih dikenal sebagai Pasar Minggu dan Pasar Pagi, dikelola oleh Dinas Pariwisata Informasi dan Komunikasi (Disparinkom) Pemerintah Kota Malang. Dimulai sekitar tahun 1997/1998, awalnya pasar ini berlokasi di pelataran parkir Stadion Gajayana Malang. Tetapi ketika pembangunan Mal Olympic Garden dan renovasi stadion pada tahun 2008, pasar ini direlokasi ke jalan Semeru di sisi utara stadion. Kemudian sempat direlokasi ke Lapangan Rampal dan Jalan Simpang Balapan. Tetapi akhirnya kembali ke jalan Semeru hingga sekarang. Pada akhir 2013 wacana relokasi Pasar Tugu ke Lapangan Rampal kembali muncul terkait penetapan Jalan Ijen sebagai destinasi wisata. Akan tetapi sampai saat ini belum ada keputusan terkait relokasi tersebut. Jika Anda mempunyai kesempatan berkunjung ke Kota Malang, jangan lewatkan untuk mampir ke venue ini. :)

Tuesday, January 21, 2014

Aku Hanya Ingin Mengenalmu



'GRRR...'

Suara geraman itu langsung membuatku merinding. Pelan aku menoleh ke sumber suara. Kulihat seekor pitbull hitam menyeringai dan terus menggeram. Matanya garang menatapku.

'GUK!'

Gonggongan pitbull itu seakan sebuah aba-aba lomba lari jarak pendek. Anjing itu berlari ke arahku, yang juga berlari di saat bersamaan. Dalam kepanikan, aku berlari jauh lebih cepat. Tetapi secepat apapun aku berlari, suara gonggongan pitbull itu terus terdengar di belakangku.

"Bleki! Berhenti!"

Aku mendengar suara lembut tapi tegas di belakangku. Suara merdu yang membuatku penasaran untuk melihat sosoknya. Tetapi gonggongan pitbull itu memaksaku terus berlari. Suara gonggongannya perlahan menjauh, dan akhirnya tak terdengar lagi setelah beberapa blok.

Aku berhenti setelah melewati satu blok berikutnya. Aku berusaha mengatur kembali nafasku, sambil sesekali mengusap keringat di wajah. Ini sudah kesekian kalinya aku dikejar anjing saat jogging sore. Entah sudah berapa kali aku mengubah rute jogging, tetapi hampir di setiap kesempatan selalu saja ada sesi sprint dikejar anjing.

* * *

Biasanya aku akan mengambil rute berbeda setelah bertemu seekor anjing di hari sebelumnya. Tetapi sore ini aku sengaja mengambil rute yang sama. Tak bisa kupungkiri, suara merdu itu benar-benar membangkitkan rasa penasaranku. Aku ingin tahu pemilik suara merdu, yang kuduga juga pemilik anjing pitbull tersebut.

Sore itu jogging berjalan aman tanpa ada sesi dikejar anjing. Ada rasa lega sekaligus kecewa. Entahlah, aku tak bisa menjelaskan perasaan itu. Hari kedua juga sama saja, situasi aman. Begitu pula hari ketiga, keempat dan selanjutnya. Aku mulai berpikir pemilik suara merdu itu bukanlah penduduk sekitar sini. Tak mendapat hasil, aku mulai melupakan keingintahuanku.

* * *

Dua minggu sudah aku jogging sore tanpa sekalipun bertemu anjing. Aku semakin menikmati sesi joggingku. Terlalu asyik, aku lupa sudah berapa lama berlari. Saat aku sadar, suasana sekitar sudah remang-remang. Kulihat langit, bulan purnama membuat malam tak segelap biasanya.

'GRRR...'

Aku langsung merinding mendengar geraman itu. Kulihat pitbull itu tepat di hadapanku. Anjing itu merendahkan badannya, siap menerkam kapan saja. Tak lupa dia memamerkan deretan gigi runcingnya.

'GUK!'

Aku tak sanggup berbalik dan berlari. Aku hany bisa menatap tajam ke arah anjing itu. Anjing itu terus menggonggong ke arahku, tetapi tidak menyerang. Dia mendekat maju beberapa langkah, kemudian melompat mundur sambil terus menggonggong.

"Bleki! Diam!"

Suara merdu itu kembali terdengar. Merdu  dan lembut, tetapi tegas. Pitbull itu terus menggonggong.

"Bleki! Diam"

Anjing itu tak lagi menggonggong, tetapi terus menggeram. Lalu muncullah sesosok bayangan berlari kecil menghampiri anjing itu. Inilah pertama kali aku melihat pemilik suara merdu itu. Seorang gadis cantik yang jauh lebih menarik dari bayanganku. Rambut hitamnya terurai sampai punggung, berkilau ditimpa sinar rembulan. Aku terpana.

Gadis itu membungkuk dan mengaitkan tali di kalung leher anjingnya yang terus saja menggeram. Setelah itu dia berdiri dan menatapku, lalu diam.

Yang terjadi berikutnya sangat cepat. Anjing itu berbalik dan berlari, menarik tuannya menjauh. Aku tersadar dan berlari mengejar mereka. Aku harus berkenalan dengan gadis itu!

Aku berteriak untuk memanggilnya.

Spontan saja aku berhenti. Diam.

Terkejut mendengar lolonganku sendiri.

* * *