Monday, May 27, 2013

First Date

Hari sabtu ini cuaca cerah, sangat cerah malah. Tampak Arta dan Wawan sedang duduk di kantin sekolah. Jam pelajaran sudah usai, tetapi mereka berdua masih enggan pulang karena teriknya matahari. Wawan sedang meminum es teh, gelas keduanya. Sedangkan Arta sedang menyeruput kopi panas. Kopi panas di hari yang terik? Kombinasi yang aneh. Tetapi Wawan tampaknya sudah terbiasa dengan keanehan sahabatnya itu. Arta memang selalu menyukai kopi dalam kondisi apapun, kecuali jika memang tidak ada kopi sama sekali.

"Jadi, besok kencan pertamamu sama Lina ya?", tanya Wawan. Arta sedikit tersedak mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
"Bukan kencan sih, cuma jalan saja", jawab Arta setelah menyeka mulutnya.
"Apa bedanya? Sama saja kan?", sergah Wawan.
"Yaahh... Dibilang sama juga boleh lah", jawab Arta nyengir. Memang besok Arta akan keluar bareng Lina, cewek idola sekolah yang sebenarnya disukai Wawan. Tetapi karena sebuah tantangan, Wawan harus gigit jari karena Lina memilih Arta untuk jalan dengannya.
"Good luck ya, Ta", kata Wawan setelah menenggak habis minumannya.
"Thanks, mamen", jawab Arta singkat. Mereka kemudian melakukan tos diikuti jabat tangan erat. Wawan meninggalkan kantin untuk mengikuti latihan tim basket. Dia baru saja bergabung dengan tim basket putra sekolah atas saran Lina. Sedangkan Arta tetap tinggal di kantin, menghabiskan kopinya.

* * * * *

"Kita mau jalan kemana nih?", tanya Lina setelah Arta menjemputnya hari minggu pagi. Dia tampak antusias.
"Pertama, kita ke perpustakaan kota dulu", jawab Arta enteng
"Perpustakaan?", jawab Lina mengerenyitkan dahi. Perpustakaan bukanlah tempat yang lumrah untuk kencan.
"Udaaah... ikut saja", jawab Arta enteng.
"Baiklah", Lina masih saja tak habis pikir, kencan di perpustakaan? Dimana romantisnya? Tetapi dia menurut saja, siapa tahu Arta menyiapkan sebuah kejutan untuknya.

Dua puluh menit perjalanan naik mikrolet, mereka telah sampai di perpustakaan milik pemerintah kota. Ternyata di pelataran perpustakaan sedang diadakan bazaar buku. Arta segera mengajak Lina ke arena bazaar. Lina suka membaca, tetapi dia terlanjur berharap akan mendapat sebuat kencan yang romantis bersama Arta. Moodnya mendadak drop saat Arta memberinya sebuah kencan yang jauh berbeda dari apa yang diharapkannya. Apalagi saat dilihatnya Arta begitu bersemangat memilih buku-buku. Sebuah penilaian hadir di benak Lina, Arta adalah sosok yang egois.

"Halooo...", kata Arta sambil menggerakkan telapak tangan di depan wajah Lina. "Kok melamun saja?", tanya Arta sambil cengengesan seperti biasa.
"Hah? Oohh, enggak... Eh, iya... Melamun", jawab Lina gelagapan.
"Aku sudah selesai nih", kata Arta sambil mengangkat tas plastik berisi beberapa buku yang dibelinya tadi.
"Woww... Banyak sekali buku yang kau beli?", tanya Lina.
"Banyak buku bagus dan juga murah, jadi dapat banyak deh", sahut Arta dengan cengirannya. "Lanjut jalan yuk", diraihnya tangan Lina.
"Iya...", Lina sedikit kaget ketika tiba-tiba Arta menggandeng tangannya. Dia segera berjalan mengikuti Arta, menyeberang jalan menuju sebuah bangunan besar dengan beberapa alat perang terpajang di pelatarannya. 'Museum?' kata Lina dalam hati. Dia makin tak paham dengan definisi kencan yang ada dalam pikiran Arta.

Mereka berjalan sambil mengamati barang-barang yang dipamerkan dalam museum. Beberapa kali Lina menanyakan tentang barang yang belum pernah dilihatnya. Arta selalu menjawab dengan lancar, seolah dia adalah pemandu museum. Sesekali Arta menjelaskan dengan gaya yang lucu, dan itu bisa membuat Lina tertawa. 'Mungkin kencan dengan Arta tidak akan romantis, tetapi dia cukup menyenangkan', batin Lina kembali membuat penilaian. Dari situ dia memutuskan untuk menikmati saja saat-saat kencan mereka.

Setelah puas melihat barang-barang yang dipamerkan, Arta membeli dua es krim coklat dan membaginya dengan Lina.
"Kok tahu aku suka es krim coklat?", Lina menerima es krim itu dengan senang. Arta cuma menanggapinya dengan cengiran, lalu kembali diraihnya tangan Lina. Arta menariknya ke arah belakang museum. "Eh, mau kemana kita? Di belakang sana bukan area pameran kan?", Lina sedikit panik sekaligus penasaran. Arta tak menjawab, dia terus melangkah menuju pelataran belakang. Ternyata disana terdapat sebuah tangga menuju atap. Arta menarik Lina menaiki tangga itu. "Taaa... Kita enggak boleh ke atas, ada tanda larangan naik", kata Lina mencegah Arta, tetapi kakinya tetap melangkah mengikuti Arta. Dia mulai berpikir macam-macam. Panik, tetapi juga berharap tindakan Arta ini berujung pada suasana romantis seperti yang diharapkannya.

Di atap museum terdapat beberapa struktur bangunan yang berbentuk seperti payung raksasa. Arta mengajak Lina duduk di salah satu kursi panjang di bawahnya. Arta melepas gandengan tangannya, lalu merangkul pundak Lina.
"Lihat. Tidak setiap hari kamu bisa lihat pemandangan ini", kata Arta sambil menunjukkan pemandangan yang tampak di bawah mereka.

Tampak dengan jelas boulevard yang memanjang di tengah jalan Ijen. Lalu di seberang tampak bangunan perpustakaan kota berdiri dengan megah. Di tengah boulevard, tepat di depan museum, berdiri tegak monumen Melati Kadet Suropati. Tampak pula bangunan rumah bergaya kolonial berderet di tepi jalan Ijen. Benar-benar sebuah kombinasi lanscape yang sangat indah. Lina tak menyangka bisa melihat pemandangan indah ini. Dia sering melewati kawasan ini, tetapi baru kali ini dia melihatnya dari atas.

"Ta... Indah sekali...", hanya itu yang bisa dikatakan Lina.
"Jadi, lebih indah mana dengan makan berdua di kafe atau nonton bioskop?", tanya Arta sambil nyengir.
"Aaahhh...", tiba-tiba saja Lina merasa wajahnya panas. Dia tahu wajahnya pasti bersemu merah sekarang. Ternyata Arta bisa membaca pikirannya. "Ini jauh lebih indah", lanjut Lina sambil merapatkan tubuhnya dalam pelukan Arta. "Terima kasih untuk kencan terindah ini, Ta", bisik Lina pelan. Arta memberikan kecupan lembut di dahi Lina.

'Sesuai yang kuharapkan', batin Arta.

Saturday, May 25, 2013

Gamma Rangers: Team Profile

Team Profile
Sekelompok pasukan yang terdiri dari tujuh personel, masing-masing dengan keahlian individu yang berbeda. Perbedaan di antara tujuh personel ini menimbulkan banyak sekali kerumitan dalam tim, itulah kenapa tim ini dinamakan Gamma - tidak teratur. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu perbedaan itu justru bisa menutup kekurangan antar personel sehingga menjadi kekuatan yang menakutkan.

Squad Member Profile
Explorer
Pemimpin tim, dianugerahi kemampuan fisik yang luar biasa. Handal dalam menggunakan pistol dan pisau komando. Selalu berada di garis terdepan dan memiliki daya jelajah yang sangat luas. Pemarah, tetapi selalu menghindari konflik frontal. Paling jago mengendarai kendaraan roda dua.

Armstrong
Personel terkuat dalam tim. Tidak terkalahkan dalam duel tangan kosong. Kemampuannya dalam mendobrak garis pertahanan lawan tak tertandingi. Tetapi sangat lambat dan lemah mengantisipasi serangan jarak jauh. Walau begitu, ketahanan fisiknya sangat luar biasa.

Saboteur
Personil satu ini adalah yang paling mudah naik darah. Sangat ahli menggunakan bahan peledak. Dia juga memiliki teknik penyergapan tingkat tinggi. Tetapi dia juga personel yang paling ceroboh dalam bertindak dan selalu sulit berinteraksi dengan orang lain.

Spy
Dalam misi penyusupan, personel ini ahlinya. Kegesitannya tak tertandingi. Di balik sosoknya yang kalem, dia memiliki kemampuan tinggi di bidang teknologi sehingga mampu mengoperasikan berbagai tipe komputer dan gadget. Lemah dalam mengantisipasi faktor non-teknis dan penggunaan senjata.

Ace
Personil yang satu ini adalah ahli perang syaraf. Dia juga ahli dalam bidang kimia. Di saat terdesak, seringkali menyelamatkan tim dengan analisa logika kilatnya. Tetapi logikanya tersebut sekaligus menjadi kelemahannya yang paling besar. Selain itu dia juga anggota paling lemah dalam bidang navigasi.

Control Board
Satu-satunya personil yang nyaris tak pernah terlibat langsung di lapangan. Tugas utamanya adalah mengumpulkan informasi. Selalu bisa menilai situasi dari informasi yang dia kumpulkan. Satu-satunya kelemahan adalah tidak benar-benar mengetahui kondisi aktual di lapangan.

Joker
Personel yang jarang sekali terlihat wujudnya, bahkan oleh anggota tim sekalipun. Dia bisa berada dimana saja dan seringkali muncul secara tak terduga. Pendukung misterius pada setiap misi tim. Sangat ahli mengendarai berbagai tipe kendaraan. Kelemahannya adalah kemisteriusannya itu sendiri. Selalu berada di luar jangkauan tim dan seakan beroperasi sendiri.

Tuesday, May 21, 2013

The Late Shock

Ada pepatah Jawa yang berbunyi "witing tresna jalaran saka kulina", cinta datang karena telah terbiasa. Pepatah itu benar, menurutku. Karena aku mengalaminya sendiri. Setelah empat tahun sebelumnya aku bekerja di tempat yang sama denganmu. Cinta itu muncul, karena terbiasa bersama. Akupun tak terlalu terkejut saat kau merasakan hal yang sama. Kita resmi berpacaran.

Dua tahun kita lewati dengan berbagai hal. Semuanya terasa baru bagiku. Apa yang biasa kulakukan sendiri, sekarang dilakukan berdua. Sangat menyenangkan mempunyai pengalaman baru.

Denganmu.

Hari itu, dua tahun lewat tiga bulan sejak kita berpacaran, aku mendapat pengalaman yang baru. Bukan perasaan yang menyenangkan. Jenuh. Entah kenapa perasaan itu hadir di tengah hubungan kita yang menurutku sangat sempurna. Sekali lagi, aku tak terlalu terkejut saat kau menyatakan perasaan yang sama.

Berpisah. Itu keputusan yang kita sepakati. Ada perasaan lega dan semangat baru dalam diriku. Tetapi juga ada perasaan kehilangan dalam hatiku. Aku yakin, kau juga merasakan hal yang sama.

Dua minggu sudah sejak kita berpisah. Perasaan lega berangsur hilang terhapus oleh rasa kehilangan yang semakin menjadi. Aku telah terbiasa melakukan banyak hal bersamamu. Kini aku merasakan sebuah kemunduran. Kembali melakukan segala hal sendirian.

Tanpamu.

Mengulangi kebersamaan untuk sekali lagi. Mungkin itu satu-satunya jalan untuk kembali melangkah maju. Aku yakin kau juga merasakan hal yang sama. Aku sangat yakin.

Hari itu kau datang dengan wajah riang. Senyuman gembira seakan tak lepas dari wajahmu. Kau menyapaku dengan lambaian yang bersemangat. Aku membalas lambaianmu dengan hampa saat kulihat cincin berlian di jari manismu.

Aku yakin, kau tidak merasakan hal yang sama.

Sunday, May 19, 2013

Akhirnya

Aku tak tahu harus bagaimana. Langkahku terus membawaku menyusuri trotoar. Pikiranku masih menerawang. Berbagai macam pikiran sesak memenuhi otakku. Membuatku seperti boneka yang berjalan tak tentu arah.

Bangku semen berlapis keramik itu menjadi pemberhentianku. Panasnya sengatan matahari telah membuat langkahku terhenti. Sebotol air mineral dingin kudapatkan dari asongan dengan harga nyaris dua kali lipat.

Bukan. Bukan harga mahal itu yang kupikirkan. Tapi kejadian yang baru saja kualami.

Satu jam yang lalu aku masih duduk di belakang meja kantorku. Mengerjakan semua tugasku dengan teliti. Ya, seperti biasanya, mengatur dan memeriksa agenda boss hari ini.

Aku adalah asisten pribadi Pak Priyo, pimpinan perusahaan asuransi berskala nasional. Jabatanku membuat banyak orang di perusahaan ini mengangguk hormat setiap kali berpapasan denganku. Posisiku sangat penting, selalu memberikan pertimbangan pada pimpinan. Secara tak langsung, aku berperan penting dalam keputusan yang diambil oleh pimpinan.

Aku adalah orang penting. Paling tidak sampai satu jam yang lalu!

Satu jam yang lalu, Pak Priyo memanggilku ke ruangannya. Aku bergegas menuju ruangannya dengan santai. Sapaan hormat kulontarkan begitu dia mempersilahkan aku masuk. Pimpinan tampak dingin saat itu. Tak banyak bicara saat menyodorkan sebuah amplop besar padaku.

Sesak rasanya saat kubuka amplop itu. Dua gepok uang pecahan seratus ribu. Dua puluh juta. Aku termenung. Bingung. Beberapa menit pikiranku kosong. Tak bisa diajak berpikir dengan jernih.

Akhirnya kukeluarkan selembar kertas dari amplop yang sama. Kubaca, hanya sekilas. Kububuhkan tanda tanganku di tempat yang telah disediakan, dengan nama lengkapku di bawahnya. Kutinggalkan kertas itu di mejanya, lalu kumasukkan uang itu dalam koperku. Detik berikutnya, aku sudah berjalan meninggalkan kantor.

Lamunanku buyar saat sebuah nada panggilan telepon genggamku berbunyi. Natasha. Ah, wanita itulah yang telah mengisi hatiku selama enam tahun terakhir. Sosok wanita yang benar-benar sempurna. Sosok wanita yang telah menawan cintaku.

"Halo", kataku singkat.
"Selamat pagi, Sayang", suara lembut itu terdengar sejuk di telingaku. Suara yang selalu memberiku rasa nyaman. Suara yang membuatku merasa berarti.
"Sayang, aku baru saja dipecat", kata-kataku meluncur begitu saja. Lancar, tanpa beban. Hanya ada kesunyian setelah itu. "Pak Priyo tahu aku telah menjalin affair dengan istrinya selama enam tahun", lanjutku.

Friday, May 17, 2013

Kantin, Sepulang Sekolah

"Artaaa...", teriakan Intan benar-benar membuyarkan lamunan Arta.
"Aaa... Aa... Ada apa Tan?", jawab Arta dengan kaget dan gelagapan.
"Kamu ngelamunin apa sih? Kok dipanggil diam saja?", tanya Intan. Teman sekelas Arta ini memiliki wajah bulat dan jenaka. "Aku mau minta tolong nih".
"Apaan?", sahut Arta singkat.
"Bantu aku kerjakan tugas Pak Joko", pinta Intan dengan sedikit memelas. "Kamu tahu kan aku paling enggak bisa menggambar".
"Hah? Tugas Pak Joko yang mana?", Arta balas bertanya. Pak Joko adalah guru bidang studi kesenian yang mengajar di kelas mereka.
"Tugas bikin desain furnitur dan perspektifnya", jawab Intan.
"Waduh... Baru ingat, aku juga belum bikin", seperti tersadar, Arta langsung mengeluarkan buku gambar ukuran A3 dari tasnya.
"Lhaaaaahh... Kamu blm kerjakan juga? Trus aku gimana nih Ta?", Intan tampak makin kebingungan. "Mana jam istirahat cuma sisa 15 menit lagi nih".
"15 menit juga udah cukup", jawab Arta singkat sembari tangannya lincah menggoreskan pensil di buku gambarnya.
"Trus punyaku gimana Ta? Minggu lalu kan kamu udah janji mau buatkan desain untukku?", pinta Intan lagi.
"Intan, kamu tenang dan diam ya. Aku pasti tepati janjiku", jawab Arta kalem dan tenang. "Sekarang yang aku butuhkan cuma ketenangan. Oke?", lanjut Arta sambil terus menggoreskan pensilnya. Intan cuma menjawab dengan anggukan kepala.

Sesaat setelah bel tanda masuk berbunyi, Arta telah menyelesaikan dua desain. Sebuah desain unik meja kayu di buku gambarnya dan desain kursi kayu yang tak kalah unik di buku gambar Intan. Dua gambar desain itu memiliki desain dan motif ukiran yang identik. Sepertinya meja dan kursi itu memang dibuat berpasangan. Arta dan Intan sama-sama mendapatkan nilai 'A'. Tetapi di bawah nilai Intan ada tulisan Pak Joko 'Lain kali kerjakan tugasmu sendiri'. Arta cuma nyengir saat Intan menunjukkan catatan itu.

* * * * *

Setelah jam sekolah usai, tampak Intan berlari kecil menyusul Arta yang meninggalkan kelas lebih dulu.
"Artaaa... Tunggu", seru Intan. Si empunya nama berhenti lalu menoleh ke arah datangnya suara. "Ikut aku bentar ke kantin ya", lanjut Intan setelah sampai di dekat Arta.
"Kamu dimana?", sahut Arta sambil berlagak seperti orang yang sedang mencari sesuatu, sambil telapak tangannya diposisikan mendatar diatas matanya. Candaan Arta dijawab Intan dengan memberikan sebuah cubitan sambil tertawa. Memang tinggi Intan cuma sebahu Arta. "Tumben ajakin aku ke kantin?", lanjut Arta sambil mengelus lengannya yang terasa panas karena cubitan Intan.
"Kita makan siang bareng ya. Aku yang traktir", Intan menjawab dengan sebuah tawaran yang tak mungkin ditolak oleh Arta.

Sesampainya mereka di kantin, Arta melihat Wawan duduk sendirian di pojok. Seminggu terakhir ini Wawan jarang sekali terlihat oleh Arta.
"Halo bro, kemana aja kok jarang nongol akhir-akhir ini?", sapa Arta sambil menepuk bahu Wawan, kemudian duduk di sebelahnya. Wawan cuma tersenyum, lalu diam.
"Arta, kamu mau makan apa?", tanya Intan memotong.
"Apa sajalah", jawab Arta sambil nyengir.
"Okeee...", sahut Intan sambil berlalu.
"Jadi, kamu sibuk apa akhir-akhir ini bro?", tanya Arta lagi pada Wawan.
"Nggak sibuk apa-apa", jawab Wawan singkat, dan kembali diam. Reaksi Wawan yang tidak biasa ini memicu pertanyaan di benak Arta, 'Ada apa dengan Wawan?'.
"Jangan-jangan masalah Lina ya bro?", kata Arta setelah beberapa saat tadi otaknya bekerja keras mencari sebab diamnya Wawan. Tampaknya tepat sasaran, karena Wawan langsung tersenyum getir. "Kamu pasti sudah tahu ya?".
"Bukan cuma tahu, aku kecewa sama kamu Ta", jawab Wawan pelan. Kali ini Arta yang diam. Dia tahu, berusaha membela diri seperti apapun takkan berguna dalam situasi seperti sekarang ini.

Memang waktu itu Lina bersedia jalan dengan Wawan jika kalah adu free throw. Tetapi apa keuntungan yang didapat Lina jika dia menang? Akhirnya Lina mengajukan syarat yang tak diduga, jika dia menang maka Arta yang harus jalan dengannya. Waktu itu Arta sempat menolak, tetapi di sisi lain dia tak mau mengecewakan Wawan yang sudah benar-benar ngebet. Ditambah lagi dengan keyakinan Wawan untuk memenangkan adu free throw. Sebenarnya Arta bisa saja menjelaskan jika itu adalah kemauan Lina, tetapi ujung-ujungnya dia juga yang menyetujui.

"Boleh aku ikut nimbrung?", tiba-tiba saja Intan memecah kesunyian di antara mereka. Rupanya dia sudah cukup lama memperhatikan Arta dan Wawan. Kemudian Intan duduk di depan mereka berdua. "Sebenarnya aku tahu banyak kisah kalian dengan Lina", lanjut Intan. Reaksi dua orang di depannya hampir sama, penasaran.
"Tahu darimana?", tanya Wawan.
"Lina sendiri yang cerita ke aku, kami teman akrab, duduk sebangku saat kelas satu", jawab Intan sambil tersenyum.

Kemudia Intan melanjutkan ceritanya, Lina itu selalu menyukai tantangan, terlebih jika berhubungan dengan basket. Sebenarnya dia suka dengan cara Wawan, yang menurutnya berbeda daripada cara cowok-cowok sebelumnya. Tetapi dia juga kurang suka karena Wawan memakai perantara, dalam hal ini Arta, untuk menyampaikan tantangannya. Ditambah lagi, Wawan tidak memberikan keuntungan apapun jika Lina yang menang. Karena itu Lina meminta Arta menjadi bagian dari tantangan. Bukan tanpa alasan Lina memilih Arta, tetapi karena Lina sudah lama memperhatikan sosok Arta. Dari cerita-cerita yang dia dengar, Lina menilai Arta adalah cowok yang berkepribadian unik dan menarik. Karena itulah dia meminta Arta jalan dengannya jika menang, walaupun dia juga telah siap untuk jalan dengan Wawan jika kalah.

"Kamu dan Lina sudah berusaha yang terbaik dalam pertandingan yang adil", kata Intan sambil memandang Wawan. "Kamu hanya kurang beruntung", lanjutnya. Wawan hanya terdiam, lalu sebuah cengiran tergambar di wajahnya, disusul dengan tawa pelan.
"Kalau dipikir lagi memang aku yang salah. Aku menempatkan diriku sebagai pihak yang dirugikan. Kalau Lina memilih Arta, itu haknya", kata-kata Wawan disertai cengiran khasnya. "Lagipula, terlalu muluk jika aku berharap menang adu free throw melawan diva basket sekolah", kali ini Wawan tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri.
"Lain kali kamu harus berani maju sendiri ya", sahut Intan sambil tersenyum jenaka.
"Ya. Terima kasih untuk sarannya", Wawan tersenyum, lalu menoleh ke arah Arta. "Sori bro, aku sudah termakan egoku sendiri", kemudian menjabat erat tangan Arta, jabat tangan khas yang sering mereka lakukan.

Obrolan terhenti saat Bu Ria, pelayan kantin, mengantarkan tiga porsi gado-gado dan tiga gelas es kelapa muda.
"Lho, aku tidak pesan makanan", protes Wawan saat Bu Ria meletakkan sepiring gado-gado di hadapannya.
"Makan aja, aku yang traktir", sahut Intan. "Lagian tadi aku nanya Bu Ria, katanya kamu belum pesan apa-apa sejak kesini".
"Wow, traktiran dalam rangka apa nih?", selidik Wawan.
"Nggg... Apa ya?", Intan kebingungan, pipinya bersemu merah. "Dalam rangka makan siang bareng kalian", lanjut Intan sekenanya, disambut tawa oleh semuanya.

'Semuanya berjalan sesuai yang kuharapkan', batin Arta.

Wednesday, May 15, 2013

Sebuah Balada Tanpa Nyanyian

"Kamu pria terbodoh yang pernah kutemui. Selama ini aku cuma mempermainkanmu! Tak kusangka, bahkan kau lebih penurut dibandingkan Bleki. Sekarang enyahlah, jangan pernah muncul di hadapanku!", jawaban Anita begitu dalam menusuk perasaannya. Setelah Anita menyelesaikan kalimatnya, Hari segera pergi meninggalkan kafe itu, diikuti pandangan bingung Gito. Baru beberapa langkah meninggalkan kafe, hujan turun dengan derasnya, disusul oleh derasnya air mata Hari. Sebenarnya Hari bukanlah pria cengeng. Tetapi malam ini dia benar-benar menangis, walau tersamar oleh derasnya hujan.

* * * * *

Setahun yang lalu Hari mengenal Anita secara tak sengaja. Ketika itu dia mengantarkan Janu, sahabatnya, mencari tempat tinggal teman ceweknya. Rumah Ria, nama teman Janu, ternyata berada di daerah perkampungan padat dengan jalan-jalan sempit yang rumit. Di sebelah paling barat perkampungan tersebut terdapat sebidang tanah lapang yang biasa digunakan sebagai sarana hiburan dan olahraga warga perkampungan. Letak rumah Ria tepat di sisi timur lapangan, sedangkan sisi barat lapangan dibatasi dengan selokan yang cukup lebar. Di sebelah barat selokan, kontur tanah menanjak seperti tebing yang cukup tinggi. Kemiringannya cukup beresiko untuk longsor, walau begitu ada lima rumah yang berdiri di lereng tersebut.

Di ruang tamu rumah Ria, Hari lebih banyak diam dan mendengarkan sahabatnya yang bercengkrama akrab dengan tuan rumah, hanya sesekali saja dia ikut menimpali. Sesaat perhatian Hari tersita oleh sosok yang lewat di depan rumah Ria. Sosok cewek yang sangat anggun. Cewek tersebut kemudian melintasi lapangan menuju ke salah satu rumah di lereng barat lapangan. Tanpa sadar, pandangan Hari terus mengikuti sosok cewek itu. Bahkan sampai cewek itu masuk ke rumah, pandangan Hari masih terfokus ke pintu rumah cewek tadi.

"Cewek tadi namanya Anita, baru saja lulus SMU", kata Ria sambil menepuk bahu Hari, dan membuatnya terbangun dari lamunan. Tak pelak Hari gelagapan juga, wajahnya sedikit bersemu merah. "Mau dikenalin?", lanjut Ria sambil tersenyum, atau lebih tepatnya nyengir. Sembari mengetikkan pesan di handphone-nya. Tak butuh waktu lama, tampak Anita melintasi lapangan menuju rumah Ria.

Sosok Anita tampak anggun di mata Hari saat itu. Wajah oval yang mulus, lesung pipit muncul di kedua pipi saat bibirnya yang sensual menyunggingkan senyum, mata yang berbinar, dan tangannya yang lembut saat berjabat tangan. Semuanya benar-benar natural tanpa ada polesan make up yang berlebih.

Sore itu, Hari mengalami yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Dua bulan kemudian, Hari menyatakan cintanya pada Anita. Dia benar-benar ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Anita.

"Aku akan jawab setelah aku yakin kamu benar-benar serius. Aku butuh bukti nyata, bukan cuma kata-kata", jawaban Anita melambungkan harapan Hari. Memacunya untuk membuktikan bahwa dia benar-benar serius.

Momen Valentine tak dilewatkan oleh Hari. Sebatang coklat, sekuntum mawar dan sebuah kartu ucapan hasil desainnya sendiri telah dipersiapkan. Tetapi sayang, Hari tak bisa menemui Anita karena sedang menghadiri acara keluarga. Akhirnya bingkisan kecil itu dititipkan pada Ria. Ria bersedia menyampaikannya pada Anita, dengan imbalan sebatang coklat tentunya. Keesokan paginya Hari mendapat dua pesan pendek. Yang pertama dari Ria, mengabarkan bingkisannya telah disampaikan pada Anita. Yang kedua dari Anita, hanya sebuah pesan singkat 'Terima kasih'.

Waktu terus berlalu, beberapa kali Hari kembali menyatakan cintanya, tetapi jawaban Anita selalu sama. Padahal Hari selalu saja berusaha memberikan bukti akan keseriusannya. Banyak sekali yang telah dikorbankan Hari, tak hanya materi, tetapi juga waktu. Hari bahkan rela meninggalkan pekerjaannya hanya karena pesan singkat Anita 'Jemput aku di tempat x' atau 'Antar aku ke tempat x'. Beberapa kali pula atasannya menegur Hari karenanya. Untunglah prestasi Hari di tempat kerjanya sangat bagus sehingga dia masih diberikan sedikit kelonggaran, walaupun ada juga sanksi berupa potong gaji.

Delapan bulan sudah Hari berjuang membuktikan betapa serius cintanya pada Anita. Tubuhnya menjadi lebih kurus dan tampak kurang sehat. Selama ini dia selalu menggunakan uang gajinya untuk 'perjuangan cinta' hingga mengabaikan kebutuhannya sendiri. Beberapa kali dia bahkan meminjam uang kepada Janu, sahabatnya yang selalu membantu tanpa pamrih. Tak dipungkiri, Janu sangat prihatin dengan kondisi sahabatnya itu.

"Mending kamu cari yang lain saja deh Har, sepertinya kamu cuma dipermainkan saja sama Anita. Bukannya sok tahu, tapi aku prihatin dengan kondisimu yang seperti ini", saran Janu saat Hari menemuinya untuk meminjam uang lagi. Biasanya Hari selalu menerima saran sahabatnya itu, tetapi untuk yang ini dia tetap bersikeras untuk terus berjuang sampai Anita memberikan jawaban langsung kepadanya, baik itu menerima ataupun menolak.

"Hari, maaf kalau aku harus bilang gini. Tapi sebaiknya kamu enggak usah lanjutin kejar Anita deh, dia sudah bukan Anita yang dulu", kali ini saran itu datang dari Ria. Hari membalas saran Ria dengan senyuman, tapi dia tetaap kokoh pada pendiriannya. "Kamu cowok baik, Anita enggak cocok buat kamu. Kamu terlalu baik", tambah Ria lagi. Sekali lagi, hanya senyuman Hari yang membalas saran Ria.

Sebenarnya cinta Hari pada Anita benar benar tulus dan tak terlalu banyak menuntut harus ini atau harus itu. Satu-satunya yang diinginkan Hari saat ini hanyalah tanggapan dari Anita atas pernyataan cintanya, sebuah kepastian. Hari hanya ingin mendengarkan kepastian itu langsung dari Anita, bukan dari orang lain. Walau akhir-akhir ini dia semakin sering mendengar rumor minor tentang Anita, dia selalu mengabaikannya jika dia tak melihatnya sendiri.

'If there's a beginning, there must be an end', kalimat itu dibaca oleh Hari di internet saat mencari tambahan data untuk pekerjaannya. Mau tak mau kalimat itu membuatnya berpikir keras tentang perjuangan cintanya selama ini. Kembali terlintas di pikirannya saran dari Janu dan Ria. Lalu isu-isu miring tentang Anita satu persatu kembali hadir di otaknya. Perlahan otaknya menyusun semua informasi menjadi sebuah gambaran yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya. Hari tahu apa yang harus dilakukan, memastikannya.

Masih pukul sepuluh malam, Hari tampak berjalan meninggalkan rumahnya. Dia tetap berangkat walau motornya sedang dipakai kakaknya untuk sebuah keperluan. Hari berjalan menuju tempat kerja Anita di sebuah kafe yang cukup terkenal dan selalu ramai pengunjung. Cafe itu buka pada sore hari dan tutup selepas tengah malam. Terkadang Anita meminta Hari untuk mengantarnya pulang, tetapi lebih sering dia pulang diantar oleh rekannya walau Hari bersedia untuk antar-jemput setiap malam. Jarak yang lumayan jauh tak menyurutkan langkah Hari.

Sesampai di dekat kafe bertingkat dua tersebut Hari sempat bimbang juga. Dia takut kehadirannya akan mengganggu pekerjaan Anita. Sebelumnya Janu juga sempat meneleponnya untuk hangout bersama. Janu sangat kaget ketika tahu Hari sedang menuju tempat kerja Anita, dia sempat meminta Hari mengurungkan niatnya walau dia tahu permintaannya itu tak akan digubris. Saat langkahnya sampai di gerbang depan, Hari dihentikan oleh seorang petugas keamanan kafe. Petugas itu mengenal Hari, ternyata dia Gito, teman sekelas Hari di SMU dulu. Saat Gito menanyakan keperluannya, Hari menjawab dia tertarik dengan kafe ini karena selalu ramai pengunjung dan ingin tahu apa yang membuatnya ramai.

"Kafe Royal Romance ini termasuk kafe elit. Selain menu makanan, pelayanan disini oke banget bro. Waitress-nya pun seksi semua, itu yang bikin rame", promo si Gito. "Asal kamu tahu, sebenarnya bukan cuma itu yang bikin rame", lanjut Gito dengan sedikit berbisik. "Tapi ada satu special service yang cuma diketahui kalangan tertentu". Lalu Gito menceritakan jika di bagian basement kafe ini adalah tempat karaoke, dimana banyak sekali hostess yang tak kalah seksi dengan para waitress kafe. Bedanya dengan hostess di tempat karaoke keluarga yang lain, hostess di tempat ini bersedia menjual tubuhnya untuk kepuasan klien.

"Mau lihat-lihat di dalam? Aku kasih tur kilat di arena atraksi malam yang hot banget bro", ajak Gito. Hari menurut saja saat Gito mengajaknya melintasi area parkir menuju bagian belakang kafe. Kemudian menuruni tangga menuju basement. Pintu di ujung tangga dijaga seorang petugas keamanan lainnya, tetapi petugas tersebut mempersilahkan mereka masuk setelah Gito memberikan isyarat.

Ternyata Gito mengajak Hari memasuki basement dari service area. "Inilah daya tarik sebenarnya dari kafe ini bro", sambil berjalan Gito terus menjelaskan selayaknya seorang guide. Mereka terus menyusuri lorong temaram dengan pintu-pintu di kedua sisinya. kemudian Gito berhenti di dekat sebuah pintu di ujung lorong. "Dan inilah ruang dimana daya tarik utama tempat ini berada", kata Gito sambil mempersilahkan Hari mengintip ke dalam ruangan melalui jendela kecil yang terpasang di pintu.

Raut muka Hari berubah menjadi tegang setelah melihat suasana di dalam bilik karaoke tersebut. Sebuah meja di tengah ruangan dipenuhi botol-botol minuman keras yang sebagian besar telah kosong. Ada tiga orang pria tanpa busana disana, sedang mencumbu seorang wanita yang terbaring di sofa, juga tanpa busana. Hari semakin tegang saat salah satu pria menarik wanita itu untuk berdiri, terlihat dengan jelas sesosok wanita yang tampak bahagia dan sangat menikmati cumbuan ketiga pria tersebut.

"Anita belum genap tahun bekerja disini, tapi dia telah menjadi sang primadona karena servisnya yang sangat memuaskan", ujar Gito berpromosi. Cengiran Gito sirna saat Hari menggebrak pintu itu dengan kepalan tangannya. Cukup keras untuk membuat aktivitas keempat orang di dalam bilik terhenti. "Apa yang kamu lakukan?", bentak Gito sambil mencengkeram lengan Hari, kemudian berusaha menyeretnya keluar. Bersamaan dengan itu pintu bilik terbuka, Anita keluar tanpa berusaha menutup tubuh telanjangnya. Dia sedikit terkejut saat melihat Hari berada disitu.

"Heh! Mau apa kamu disini?", tanya Anita dengan nada culas. Hari menghentakkan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman Gito. Tanpa diduga, Hari menatap Anita dengan tersenyum, kemudian kembali menyatakan cintanya.

* * * * *

Monday, May 13, 2013

(Un)Lucky Advisor

"Ta, ntar pulang sekolah aku tunggu di kantin ya", kata Wawan saat bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah berakhir.
"OK brooo...", sahut Arta sambil melangkah masuk ke kelasnya. Wawan dan Arta adalah siswa kelas dua di SMU Negeri 4 Malang. Mereka teman akrab walau baru berkenalan saat kelas satu, dimana mereka berada dalam kelas yang sama. Kesamaan minat pada musik dan sepakbola membuat mereka cepat sekali menjadi akrab.

Sepulang sekolah Wawan langsung menuju kantin yang letaknya dekat dengan lapangan basket.
"Lama banget sih kamu, dari mana aja?", tanya Wawan sedikit kesal saat Arta baru muncul lima belas menit kemudian.
"Sori bro, hari ini giliranku piket. Jadi beres-beres kelas dulu", jawab Arta sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Wawan. "Jadi? Ada kepentingan apa hari ini?", lanjut Arta. Wawan tidak menjawab, dia hanya memberi isyarat dengan dagunya ke arah lapangan basket.

Siang ini di lapangan basket sekolah ada latihan. Klub basket cewek sedang mempersiapkan tim untuk pertandingan final tiga hari kemudian. Dari semua anggota klub yang berlatih, tampak dua cewek yang terlihat paling menonjol. Mereka adalah Ayu dan Lina, keduanya adalah pemain andalan tim. Mereka juga dianugerahi fisik yang sempurnya. Duet bidadari basket, begitulah mereka dijuluki.

"Jadi, mana yang kamu incar?", tanya Arta tanpa mengalihkan pandangannya dari lapangan.
"Eh? Incar?", Wawan tampak sedikit gelagapan dengan pertanyaan Arta. "Incar gimana maksudmu?"
"Hahaha... Kamu mudah sekali terbaca, bro", Arta tersenyum lebar. "Jadi, yang mana?"
Wajah Wawan langsung memerah, dia menunduk malu. Malu karena maksudnya sudah diketahui Arta sebelum dia mengatakannya. "Lina", jawabnya pelan.
"I suggest a gamble", kata Arta setelah diam beberapa saat.
"Hah?", kali ini Wawan benar-benar tak paham dengan maksud Arta. Memang Arta sering bicara ngelantur, tapi kali ini ucapannya tadi lebih dari sekedar ngelantur bagi Wawan. Apa hubungannya cewek incaran sama judi?
Arta masih diam, rupanya dia menunggu apakah Wawan memahami maksud ucapannya tadi atau tidak. Tetapi raut wajah Wawan menunjukkan bahwa otaknya sedang menemui jalan buntu dalam usahanya menemukan korelasi antara cewek incaran dan judi.
"Lina itu...", akhirnya Arta bicara. "Dia mencintai basket, dan tidak ada yang meragukan itu. Banyak cowok yang ingin menjadikan dia kekasih. Tetapi sejauh ini Lina sudah menolak semuanya", lanjut Arta. Kali ini Wawan mendengarkan dengan serius.
"Lalu apa hubungannya dengan judi?", tanya Wawan, serius.
"Selain penggila basket, Lina itu cewek yang fair dan suka tantangan. Dia juga selalu menepati janji yang dia buat", Arta melanjutkan dengan wajah serius.
"Hubungannya dengan judi?", kali ini Wawan makin penasaran. Penasaran dengan korelasi antara Lina dan judi, juga penasaran darimana Arta bisa mengetahui info detail tentang Lina.
"Kamu tantang dia, buat dia berjanji", tukas Arta.
"Lalu... Apa hubungannya dengan judi?", tanya Wawan lagi. Kali ini dengan muka bloon.
**GUBRAAKK** (sound effect nih critanya)
"Maksudku, kamu tantangin dia dan buat perjanjian kalau kamu menang dia jadi pacarmu", lanjut Arta.
"Oooo... Begitu toh maksudmu. Bilang dong dari tadi", senyum lebar menghiasi wajah Wawan sekarang. "Eh, tapi tantangan apa ya?"
"Kamu bisa basket gak?", tanya Arta.
"Hohoho... Jangan anggap enteng. Aku jago basket saat SMP", jawab Wawan, masih tersenyum lebar.
"Baguslah kalau begitu, tantangin Lina main basket dan menanglah", lanjut Arta dengan enteng.
"Eh eh, tunggu dulu. Aku tanding sama Lina? Secara fisik enggak imbang dong. Mana mau dia?", jawab Wawan.
"Pikir lagi dong bro... Kalau adu free throw gak perlu adu fisik kan", kata Arta sambil memukul pelan lengan Wawan.

Latihan tim basket putri berakhir dua jam kemudian. Tetapi Ayu dan Lina seperti biasa selalu berlatih sendiri setelah latihan bersama tim. Mungkin karena latihan tambahan ini mereka berdua memiliki kemampuan di atas rata-rata pemain yang lain.

"Ini kesempatanmu bro. Kamu yakin mau melakukannya?", tanya Arta.
"Yup. Sangat yakin", jawab Wawan singkat.
"Kamu siap jika kalah?", tanya Arta lagi.
"Jangan meremehkan kemampuanku. Aku menantang bukan untuk kalah", balas Wawan dengan percaya diri.
"Oke, pergilah kesana", tukas Arta.
"...", tiba-tiba Wawan terdiam.
"Kenapa?", tanya Arta sedikit heran.
"Ta, bisa minta tolong sekali lagi?", tanya Wawan setelah terdiam.
"Apaan?", tanya Arta penasaran.
"Anu... Tolong omongin ke Lina kalau aku mau nantangin dia adu free throw. Kalau aku menang dia harus jadi pacarku", kata Wawan sambil nyengir.
"Hadeeeeewww... Sebenernya yang mau nantangin dia itu aku atau kamu sih!", kali ini Arta yang gusar.
"Kamu kan jago negosiasi, Ta. Hehehe...", cengiran Wawan makin lebar saja.
"Haaaaaahh...", Arta menghela nafas panjang. "Okelah. Doain saja Lina mau terima tantangan ini", kata Arta sambil beranjak menuju lapangan.

Wawan sedikit nervous juga saat melihat Arta berbicara dengan Lina dan Ayu di tengah lapangan. Dia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dia tahu mereka sedang membicarakan tantangan adu free throw. Beberapa kali Lina memandang ke arahnya sekilas. Wawan semakin yakin Lina menerima tantangannya. Dan secara tidak langsung juga bersedia menjadi pacarnya. Kalau Wawan menang tentu saja. Sepuluh menit terlama bagi Wawan berakhir saat Arta berjalan kembali ke arah kantin.

"Bagaimana Ta?", sergap Wawan.
"Dia mau bro", jawab Arta singkat. Tapi raut mukanya menampakkan ekspresi gelisah.
"Sip! Here I come!", kata Wawan penuh semangat sambil beranjak menuju lapangan. Tapi langsung terhenti saat Arta menahan pundaknya. "Ada apa Ta?"
"Bro, kamu serius mau lakukan ini?", tanya Arta sedikit pelan. Raut mukanya sedikit tegang.
"Dari awal aku sudah sangat serius, Ta", jawab Wawan. Arta masih terdiam.
"Oke. Tapi kamu harus menang", kata Arta dengan pelan.
"Jangan khawatir, bro. Lina akan jadi pacarku setelah ini", kata Wawan yakin dan meninggalkan Arta di kantin.

Di lapangan tampak Wawan dan Lina bersiap-siap beradu free throw dengan Ayu sebagai wasitnya. Mereka akan melakukan masing-masing lima lemparan, yang memasukkan paling banyak adalah pemenangnya. Lina mendapat kesempatan pertama setelah melakukan suit. Tembakan pertama Lina masuk ring dengan tepat. Giliran Wawan, tak disangka, tembakannya juga meluncur masuk dengan mulus. Tembakan kedua dan ketiga mereka sama-sama masuk. Kedudukan sama, 3-3.

Ring basket tiba-tiba bergetar saat tembakan keempat Lina membentur sisi ring dan bolanya terpental ke samping. Tampak ekspresi Lina sangat kecewa. Sedangkan Wawan tampak makin bersemangat. Bola lemparannya membentur papan tepat di tengah dan memantul tepat masuk ke ring. Kedudukan 3-4 untuk keunggulan Wawan.

Pada lemparan terakhir, Lina tak mengulangi kesalahan. Bolanya masuk ring dengan tepat. Giliran Wawan melakukan lemparan penentuan, sebelum melempar dia menoleh sebentar ke arah Lina.
"Lemparan ini akan menjadikan kamu pacarku", kata Wawan penuh keyakinan. Lina cuma membalasnya dengan senyuman manisnya. Tetapi lemparan Wawan seedikit terlalu kuat sehingga bolanya terlalu tinggi. Bola membentur bagian belakang ring dan langsung memantul keluar. Wawan hampir tak percaya dengan kegagalannya, dia memegang kepalanya dengan dua tangan sambil meringis. Kedudukan kembali imbang 4-4.
"Masih belum berakhir", kata Lina dengan senyumannya. Karena kedudukan masih imbang, mereka akan melakukan lemparan sudden death sampai ada pihak yang menang.

Pada lemparan keenam, Lina tak menemui kesulitan. Bola lemparannya masuk dengan mulus. Wawan tampak mulai tertekan sejak kegagalannya tadi. Dia tak mau melakukan kesalahan yang sama, kali ini dia sedikit mengurangi tenaga lemparannya. Bolanya melambung terarah menuju ring.

DUENG!

Bola lemparan Wawan membentur bagian depan ring, lalu memantul ke atas. Bola kemudian turun tepat membentur sisi ring bagian depan, lalu memantul dua kali di tempat yang sama. Wawan menahan nafasnya, berharap bola akan jatuh ke sisi dalam ring. Dia mendadak merasa lemas saat bola dengan pelan bergulir ke arah luar.

Kedudukan akhir 5-4 untuk kemenangan Lina. Sang pemenang menghampiri Wawan dan menjabat tangannya.
"Sepertinya kamu harus bergabung ke klub basket cowok. Lemparanmu bagus", ucap Lina, masih dengan senyum manisnya.
"Akan kupikirkan", jawab Wawan sambil tersenyum kecut.

Di kantin, Arta tampak gelisah. Dia melihat Wawan berjalan gontai ke arahnya. Arta menjadi bingung harus bagaimana bersikap setelah kekalahan Wawan. Dilihatnya juga Lina yang tersenyum puas dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Arta seperti gerakan menembak. Arta membalasnya dengan senyuman tipis. Kembali teringat ucapan Lina saat dia menyampaikan tantangan Wawan tadi: "Aku terima tantangan Wawan, tapi kalau aku yang menang kamu harus jalan sama aku".

Saturday, May 11, 2013

My Bands

Di postingan berikut ini adalah daftar band musik yang pernah saya bentuk, beberapa diantaranya sudah terbentuk saat saya bergabung. Saya bukanlah musisi handal, hanyalah seorang amatiran. Postingan ini tidak untuk menyombongkan diri, tetapi supaya saya bisa terus mengingat orang-orang yang pernah menjadi bandmate saya. Bermain musik bersama mereka adalah kenangan yang sangat berharga dan tak akan tergantikan. Bandmates, dimanapun kalian berada, saya harap kalian tetap memainkan musik kalian! It's music that unites us!

Eureka Stetsa Big Band
Rosalina Bertha Mamahit (Vocal), Eunike Dian Matair (Vocal), Andre Gunawan (Vocal), Ricky (Guitar), Ponang Ananto (Guitar), Teguh (Guitar), Cahya (Bass), Dian Mulyawan (Drum), Krisna (Keyboards)

Lustig
Rosalina Bertha Mamahit (Vocal), Claudia Susan Frans (Vocal), Bambang Soekotjo (Guitar), Isdah Aulia' Ahmad (Guitar), Bibing (Bass), Vany Larasati Otten (Drum), Krisna (Keyboards)

Cheater Family
Krisna (Vocal + Keyboards), Danar Virdaus Y.S. (Guitar), Eko "Barbie" Sulistyo (Bass), Satriyo Adi Nugroho (Drum), "Na'ip" (Guitar)*

ASK
Krisna (Vocal + Bass + Keyboards), Ari Ris "Boqir" Sudarsono (Guitar), Zeried (Drum), Nohan Christa Himawan (Guitar)*

Zonde
Bayu (Vocal), Andhika (Guitar), Aris (Bass), Sony (Guitar), Dian Mulyawan (Drum), Krisna (Keyboards + Vocal)

Ghatia
Ria "Obenx" Antika (Vocal), Evi Anita "Sinthun" Lilasari (Vocal), Eko "Barbie" Sulistyo (Vocal), Ari Ris "Boqir" Sudarsono (Guitar), Dwi Yuliankoko (Guitar), Krisna (Bass), Agung (Drum), Dian Mulyawan (Percussion / Drum)

Bushman
Krisna (Vocal + Bass + Keyboards), Ari Ris "Boqir" Sudarsono (Guitar), Dwi Yuliankoko (Guitar), Dian Mulyawan (Drum)

L'Armanair
Krisna (Vocal + Keyboards), Ari Ris "Boqir" Sudarsono (Guitar), Erma Aprilyana (Bass), Irfan Bagus Prastiyo (Drum)

Mediterania
Erma Wijayanti (Vocal), Dwi Yuliankoko (Guitar), Fendi "Jabrik" Fujiyama (Guitar), Krisna (Bass), Tuhu Pamekas (Keyboards), Evandrianto (Drum)

Xerographers
Krisna (Vocal + Drum), Daniel Titis (Guitar), Yopi Setiyadi Putra (Guitar), Eko "Boyo" Rudianto (Bass)

ITANO
Fatih Anugrah (Vocal), Fachrina Semiarti (Vocal), Valentino Roynardi (Guitar), Satriyo Luhur Prasetyo (Guitar), Felix Ozy N.P. (Keyboards), Nohan Christa Himawan (Drum), Krisna (Bass)

ITANO Reloaded
Risa (Vocal), Krisna (Bass + Vocal + Keyboards), Ronny Fisikaries (Guitar), Nohan Christa Himawan (Drum), Gilang (Guitar)*, Felix Ozy N.P. (Keyboards)*

AMS Home Band
Donna Avianty (Vocal), Shinta Avianty (Vocal), Yudha (Keyboards), Krisna (Vocal + Bass), Ronny Fisikaries (Guitar), Denny (Drum)

T-Cafe Accoustic Project
Inneke Aulia (Vocal), Ricson (Vocal + Guitar), Krisna (Vocal + Percussion), Ronny Fisikaries (Guitar), Nohan Christa Himawan (Guitar)

KPPM Banjarjo Music Project
Socya Mara Imaculata (Vocal), Novelin Giofani (Vocal), Putri Intan (Vocal), Yektiningayu (Vocal), Brillian Kristin (Vocal + Keyboards), Erma Wijayanti (Vocal + Guitar), Yudha Prakoso (Vocal + Guitar), Krisna (Vocal + Bass), Fernando (Drum)

Accoustic Syndicate
Krisna (Vocal + Bass), Yudha Prakoso (Vocal + Guitar), Arieska (Vocal + Guitar), Fernando (Vocal + Percussion), Socya Mara Imaculata (Vocal)*

(*) = Additional Player

Thursday, May 9, 2013

Three Points

Dhani the Sniper, begitulah para penggemar basket menyebutku. Bahkan teman-teman sekolahku mulai ikut-ikutan memanggilku Sniper. Panggilan itu bermula dari kecintaanku pada permainan basket, dimana aku gemar sekali melakukan melakukan tembakan tiga angka. Menurut pelatih aku memiliki akurasi umpan dan tembakan yang sangat baik. Terutama pada statistik tembakan tiga angka. Ah, sejujurnya aku tak peduli dengan data statistik tersebut, aku hanya suka bermain basket dan menikmati permainannya, tidak lebih.

Pada sebuah kejuaraan basket daerah, tim basket SMU kami menjadi runner up setelah dikalahkan tim juara bertahan di pertandingan final. Kecewa memang, tapi aku sangat menikmati pertandingan tersebut. Lagipula di kejuaraan itu aku mendapat penghargaan sebagai The Best Three Points Shooter.
Setelah kejuaraan tersebut, jumlah penonton bertambah pada setiap latihan maupun pertandingan. Sebagian besar penonton cewek selalu meneriakkan namaku. Rekanku bilang, aku telah menjadi idola baru di sekolah. Ah, bukan hal penting selama aku masih bisa bermain basket.

Jago tembakan tiga angka apakah juga jago menembak cewek?

Untuk masalah yang satu ini aku memang belum berani melakukannya. Sebenarnya banyak sekali cewek yang mendekati aku. Hampir tiap hari selalu ada cewek berkenalan, sms, telepon, atau hanya sekedar menyapa saat berpapasan. Semua itu aku tanggapi dengan senang hati karena aku selalu berusaha baik kepada semua orang. Dari semua cewek itu tidak satupun berkenan di hatiku. Bukannya aku tidak tertarik dengan cewek, tetapi karena sudah ada seorang cewek yang kusukai.

Wina, adalah teman akrabku di bangku SMP. Wina adalah pemain basket andalan SMP kami. Dia juga yang pertama kali mencekoki aku dengan segala sesuatu tentang basket. Dia pula yang mengajarkan cara bermain basket padaku. Kami tetap menjaga hubungan kami walau kemudian harus melanjutkan studi di SMU yang berbeda.

Wina, adalah cinta pertamaku. Namun aku tak memiliki keberanian untuk menyatakan cintaku padanya. Cinta yang tak tersampaikan.

Selepas SMU, aku mendapatkan kontrak sebagai pemain magang di klub peserta liga basket nasional. Setahun kemudian aku telah menjadi pemain reguler di klub tersebut. Sejak menjadi pemain reguler, popularitasku meningkat drastis seiring dengan prestasi yang kucapai. Pemain basket masa depan Indonesia, legenda basket baru Indonesia, begitulah media-media olah raga menyebutku. Sebutkan saja julukan yang kalian mau, aku tak ambil pusing selama masih bisa bermain basket.

Bergabung dengan tim besar dan menjalani musim yang ketat telah mengasah mentalku menjadi lebih baik. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk menyatakan perasaanku pada Wina yang telah bertahun-tahun kupendam. Dengan membawa trofi NBL Rookie of the Year yang baru saja kuterima, aku bergegas ke rumah Wina.

* * * * *

Erwinaningtyas Sasongko, itu nama yang diberikan orang tuaku. Tetapi aku biasa dipanggil Wina.

Pernah ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa siaran televisi bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Penelitian itu tidak salah, setidaknya aku telah mengalaminya sendiri. Awalnya ayah berlangganan siaran televisi berbayar saat aku berumur sebelas tahun. Ayah sering memilih chanel film animasi untukku. Tetapi sepulang sekolah saat ayah masih bekerja, aku suka mencari chanel lain yang lebih seru. Suatu ketika aku terpaku saat melihat siaran pertandingan NBA yang cukup seru. Entah kenapa, waktu itu aku sangat tertarik dengan permainan bola basket yang kulihat. Sejak hari itu aku selalu mencari tahu segala sesuatu tentang basket. Ayah yang mengetahui minatku memberikan hadiah bola basket dan keranjangnya saat ulang tahunku yang kedua belas.

Saat masuk SMP, aku segera mendaftarkan diri di klub basket sekolah. Siapa sangka, aku menjadi andalan tim hanya tiga bulan setelah resmi bergabung. Aku cewek tomboy, kata mereka. Hmmm... Mungkin 'sporty' lebih tepat untukku.

Di awal-awal masuk sekolah aku berkenalan dengan cowok yang lumayan tinggi, tapi agak pendiam, Dhani Tri Wardoyo namanya. Aku sempat mengira dia adalah pemain basket melihat postur tubuhnya. Tapi ternyata dia lebih menyukai atletik.

Kami akhirnya menjadi teman dekat. Dhani termasuk tipe pendengar setia, aku sering menceritakan tentang basket dan impianku menjadi pemain tim basket putri Indonesia. Lambat laun minat Dhani terhadap basket mulai muncul. Aku mulai mengajarkan basket padanya, dia tampak menyukainya. Aku bisa merasakan dari sorot matanya saat berlatih. Fisiknya yang sudah biasa berlatih atletik memudahkan Dhani berlatih basket. Bahkan dia sempat beberapa kali ikut latihan di klub basket sekolah. Walaupun dia masih pemula, tapi kemampuan shootingnya istimewa.

Tim basket putri SMP kami meraih juara daerah sekali. Aku sangat bangga menjadi bagian tim juara saat itu. Jalan untuk mewujudkan mimpiku menjadi pemain basket nasional mulai terbuka. Aku menjadi lebih termotivasi dan terus berlatih untuk meningkatkan kemampuanku.

Impianku pupus.

Ketika sedang bertanding, aku berbenturan dengan pemain lawan di tengah perebutan bola. Aku jatuh dengan tumpuan yang salah. Rasa nyeri mencengkeram engkel kaki kananku. Aku tak bisa meneruskan pertandingan. Aku mengira kakiku cuma terkilir, dan akan pulih dengan perawatan biasa.

Tetapi hasil pemeriksaan lanjutan membuatku menangis. Achilles tendon rupture, begitulah diagnosa dokter. Putusnya tendon achilles adalah cedera yang paling fatal untuk seorang olahragawan. Tendon tertarik karena terkilir, kurangnya pemanasan atau keletihan otot karena terlalu diforsir menjadi pemicu cedera ini. Operasi pemulihan hanya bisa dilakukan di rumah sakit di luar negeri, tentunya dengan biaya besar, hal yang mustahil dipenuhi keluargaku.

Sejak saat itu aku memiliki anggota tubuh baru, penyangga kaki. Tanpa penyangga tersebut kaki kananku tak akan bisa menyangga tubuhku. Aku berhenti total bermain basket. Berhenti mengejar impianku.

Lulus SMP, aku bersekolah di sebuah SMU yang dekat tempat tinggalku, supaya ibu bisa mengantar dan menjemputku setiap hari. Temanku Dhani meneruskan studi di sebuah SMU yang terkenal karena memiliki klub basket kuat. Sesuai janjinya saat wisuda kelulusan SMP. Dia dengan mantap berkata padaku, dia akan mengambil alih impianku menjadi pemain basket nasional.

Janji Dhani ternyata bukanlah sebuah omong kosong. Dia telah menjelma menjadi pemain basket andalan sekolahnya. Popularitasnya meningkat drastis di kalangan penggemar bola basket. Beberapa teman cewek sekelasku bahkan terang-terangan mengidolakan Dhani. Mereka selalu membicarakan Dhani sebagai sosok idola yang membumi. Aku tidak akan heran, aku tahu Dhani orang yang bisa akrab dengan siapa saja. Diam-diam aku juga menjadi penggemarnya. Aku kagum dengan sepak terjangnya hingga menjadi ikon basket di tingkat SMU.

Aku terus mengikuti perkembangan Dhani di dunia basket melalui surat kabar dan media lainnya. Saat dia mendapat penghargaan sebagai pendatang terbaik liga basket nasional, aku meneteskan air mataku. Dhani telah memenuhi janjinya. Impianku telah diteruskan olehnya, dan sekarang telah terwujud. Sosok yang dulunya pendiam itu sekarang telah menjadi seorang superstar yang aku kagumi.

Setelah acara anugerah penghargaan basket yang disiarkan televisi itu usai, aku masih merasakan euforia. Orang tuaku, yang juga telah mengenal Dhani, turut bangga akan apa yang sudah diraihnya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam, kami bertiga masih membicarakan Dhani, saat seseorang membunyikan bel rumah kami.

Dhani! Baru sore tadi dia ada di acara yang disiarkan langsung di televisi, dan sekarang dia ada disini. Di tempat tinggalku. Dia memberikan trofinya padaku. Aku kembali menangis. Terharu.

Aku menjawab 'YA' saat Dhani membuka sebuah kotak berisi sepasang cincin dan melamarku.


**Special Thanks:
Resha, Yektiningayu, ple____, venuzzy, ch4ty_, bebysky, ce_jupiter

Tuesday, May 7, 2013

Rumahku, Itu Kamu

Nama Daniel sudah tersohor sebagai playboy kelas atas. Sangat sering dia berganti teman kencan. Bahkan cewek-cewek yang sudah mengetahui reputasinya pun bisa dia taklukkan. Benar-benar sosok yang pesonanya nyaris tak bisa ditolak oleh wanita.

Tetapi ada seorang wanita yang selalu mencintainya. Dia adalah Suci, seorang wanita yang mencintai Daniel dengan tulus. Awalnya adalah janji setia yang mereka ucapkan saat berusia sepuluh tahun. Sekarang pun Suci tetap memegang teguh janji tersebut setelah dua belas tahun berlalu.

Kehidupan bebas Daniel semakin menjadi sejak dia tinggal sendiri. Kedua orang tuanya tinggal di Singapura, negara dimana ayahnya bekerja sebagai staff KBRI. Tanpa kesulitan, dia bisa membawa pulang pasangan kencannya di rumah.

Suci bukannya tidak mengetahui hal ini, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah kelakuan Daniel. Kata-kata nasihat darinya hanya akan menjadi angin lalu bagi Daniel.

* * * * *

"Kau ini mengganggu saja", semprot Daniel. Dia sedang bercumbu dengan teman kencannya saat Suci membunyikan bel rumahnya.
"Aku cuma mau mengantarkan makan malammu. Kamu belum makan bukan?", jawab Suci. Tersenyum.

Sejak orang tua Daniel tinggal di Singapura, Suci selalu membuatkan makanan untuk Daniel. Dan bukan hanya sekali ini Suci mendapati Daniel sedang berasyik masyuk dengan teman kencannya.

Daniel tak mendebat lagi, aroma sedap masakan Suci telah membuat dia menyadari sesuatu, dirinya kelaparan!

* * * * *

Lapar.

Itu yang dirasakan Daniel malam ini. Tak seperti biasa, kali ini dia sangat menantikan kedatangan Suci. Dua jam berlalu. Sedari tadi SMS dan teleponnya tidak mendapatkan respon. Dia mencoba menelepon kembali, sekarang malah nomor Suci tidak aktif.

"Ah... Mungkin dia sudah sangat kesal hingga tak mau lagi bertemu denganku", pikir Daniel cuek. Tapi mau tak mau dia tetap merasakan sebuah kekosongan dalam hatinya. Di tengah gusarnya, Daniel dikejutkan dengan suara bel rumahnya.

Suci! Itu pikiran pertama yang terlintas di benak Daniel. Dibukanya pintu dan dia terkejut mendapati Shinta, sepupu Suci, berdiri di depan pintu dengan raut gelisah. Dia membawa kabar bahwa Suci mengalami kecelakaan saat mengantar makanan untuk Daniel.

* * * * *

Dokter mengatakan Suci mengalami trauma benturan yang sangat berat di kepala. Daniel merasa khawatir sekarang. Sebuah perasaan yang sangat lama tak pernah dia rasakan. Digenggamnya tangan Suci.

"Suci, maafkan aku yang selalu mengesampingkan keberadaanmu. Selama ini aku selalu berusaha mencari sesuatu yang ternyata aku sudah memilikinya. Itu kamu. Kamu selalu ada untukku. Kamu harus kembali karena rumahku, itu kamu. Bertahanlah!", kata-kata tulus itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel.

Dirasakannya jemari Suci perlahan balas meremas tangannya. Hanya sesaat...

Tangan Suci mendadak lemas bersamaan dengan bunyi 'bip' panjang dari monitor EKG. Air mata Daniel membanjir tak tertahan lagi.

* * * * *

Setahun kemudian Daniel berdiri di altar gereja untuk menjalani prosesi pertobatan. Dia telah berniat meninggalkan kehidupan lamanya dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang manusia baru. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi pemberkatan nikah.

Pendeta memanggil mempelai wanita untuk menuju altar. Shinta telah siap di pintu gereja. Dia berjalan pelan menuju altar diiringi musik pernikahan. Daniel menunggu di altar dengan tersenyum. Setelah sampai di altar, Shinta mengunci roda dan kembali melangkah menuruni altar. Rupanya Shinta mendorong kursi roda, dimana Suci duduk sambil memegang erat karangan bunga.

**pernah diposting di Facebook pada 11 Februari 2012**

Sunday, May 5, 2013

Ruang Hati

Minggu pagi ini tidak seperti biasanya, setelah bangun dari tidurnya Ajeng langsung menuju kamar mandi. Padahal hari minggu pagi selalu dimanfaatkan Ajeng untuk memuaskan hasrat tidurnya. Ibunya tampak heran dengan kelakuan putri tunggalnya itu.
"Tumben baru jam enam sudah mandi?", tanya Ibu setelah Ajeng keluar dari kamar mandi. "Ada acara penting ya?", lanjut sang Ibu.
"Iya, Bu. Diajak Sukoco main ke pantai", jawab Ajeng sambil tersenyum.
"Oooh, Sukoco pacar kamu itu. Hati-hati di jalan nanti, dan jangan pulang terlalu malam", kata Ibu sambil tersenyum. Ibu Sri memang tidak pernah terlalu mengekang Ajeng. Bahkan setelah lulus dari SMU, Ibu Sri membebaskan anaknya untuk melakukan apapun yang dia suka. Bebas dalam batas-batas wajar tentu saja. Karena Ibu menganggap Ajeng sudah cukup dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Dan Ajeng menerima kepercayaan Ibu Sri dengan penuh tanggung jawab.
"Aaahh Ibu... Sukoco itu teman Ajeng, bukan pacar", jawab Ajeng dengan nada sedikit manja.

Memang Ajeng dan Sukoco adalah sepasang sahabat. Mereka teman sekelas sejak bangku SMP sampai SMA. Persahabatan mereka terus berlanjut walau harus terpisah jarak. Sukoco meneruskan pendidikan kuliah di Surabaya, sedangkan Ajeng bekerja di sebuah percetakan milik seorang familinya. Kedekatan mereka membuat banyak orang mengira mereka adalah sepasang kekasih. Termasuk Ibunya. Memang jika diperhatikan, mereka pasangan yang serasi. Dan sejujurnya, Ajeng tak akan keberatan menjadi pacar Sukoco. Dia telah menyimpan rasa cintanya cukup lama. Tetapi dia tak berani mengatakannya dan memilih untuk menunggu dan terus menunggu.

Sukoco datang menjemput tepat waktu. Sementara Ajeng berdandan, Ibu Sri menemani Sukoco berbasa-basi di ruang depan. Segera setelah siap dan berpamitan, mereka berboncengan menuju pantai.

Setelah tiga jam perjalanan, sampailah mereka di pantai Bale Kambang, pantai eksotis di pesisir selatan kota Malang. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain ombak, membuat istana pasir dan memuaskan hasrat narsis.

"Ajeng, misalnya persahabatan kita ini di upgrade ke tingkatan yang lebih dekat kamu mau tidak?", tanya Sukoco saat mereka beristirahat setelah makan siang.
"Hah? Maksudnya gimana?", Ajeng balik bertanya. Gelagapan.
"Aku mau hubungan kita lebih dari sahabat", kata Sukoco lagi.
"Lebih dari sahabat?", Ajeng terpana. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Sukoco meraih telapak tangannya, menggenggamnya erat.
"Aku mau kamu jadi pasangan hidupku", lanjut Sukoco, langsung to the point.
"Ah...", Ajeng masih gelagapan.
"Kamu tak perlu jawab sekarang, pikirkanlah dulu baik-baik", kata Sukoco tersenyum.
"Aku mau!", jawab Ajeng sedikit berteriak. Sukoco membalasnya dengan sebuah ciuman di kening Ajeng.

Penantian panjang Ajeng berakhir di sini. Sejak lama dia telah mempersiapkan hatinya untuk Sukoco, dan sekarang Sukoco benar-benar hadir untuk menempati hatinya.

* * * * *

Keesokan harinya, Ajeng terbangun dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ibunya duduk di samping ranjang dan memegang erat tangannya. Tiba-tiba saja Ajeng menangis. Sukoco hanya singgah di hatinya untuk waktu yang teramat singkat. Sepulang dari pantai mereka mengalami kecelakaan, Sukoco tewas di tempat setelah terlindas truk. Kepergian Sukoco telah meninggalkan sebuah ruang hampa di hati Ajeng.

**pernah diposting di Facebook pada 10 Februari 2012**

Friday, May 3, 2013

Secangkir Kopi dan Bayangmu

Ino, Artha dan Wawan turun dari panggung dengan senyum puas. Penampilan band ASK For More sangat sensasional malam ini. Di depan panggung, koor 'we want more, ask for more' terus berkumandang. Tetapi show spektakuler ini harus diakhiri. Ketiga personil sudah sangat lelah setelah membawakan total 14 lagu.
Artha duduk bersandar di ruang ganti, handuk basah menutup kepalanya. Dia masih tidak percaya bahwa lagu ciptaannya mendapat applaus luar biasa. Lagu ballad itu sebenarnya masih belum sempurna, tetapi karena materi lagu sudah habis akhirnya lagu itu ditampilkan dalam format akustik sebagai lagu pamungkas. Itu lagu pertama ciptaan Artha, lagu tentang kekasihnya.

* * * * *

Sudah lewat tengah malam saat Artha masuk ke rumah. Setelah mandi dia segera menyeduh kopi, minuman favoritnya, kopi murni dengan sedikit gula. Artha menyesapnya sedikit. Senyum tipis tersungging di bibirnya saat pahit itu terasa di lidahnya. Rasa pahit itu yang mempertemukannya dengan Puspita. Berawal dari sebuah komplain Artha karena kopi yang dipesannya sangat pahit. Ternyata Puspita, pegawai part time yang menyeduh kopi itu, lupa menambahkan gula. Tetapi setelah Artha menjumpai pegawai tersebut, komplainnya berubah menjadi sebuah perkenalan. Sosok Puspita membuat Artha jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak saat itulah Artha gemar mengkonsumsi kopi pahit.
Dipandangnya cangkir itu, disana tercetak simbol cinta berwarna merah hati. Empat tahun lalu Puspita membelinya untuk Artha. Tepat sebelum Puspita berangkat ke Papua. Ya, Puspita adalah seorang guru yang baru saja ditugaskan di daerah terpencil selama empat tahun. Sejak saat itu mereka harus menjalani hubungan jarak jauh. Puspita hanya bisa menghubungi Artha lewat panggilan telepon saat dia pergi ke kota terdekat untuk mengambil gaji dan membeli kebutuhan lain. Walau disebut kota terdekat, tetapi membutuhkan lebih dari setengah hari perjalanan.
Tetapi semua kendala itu tak berarti karena mereka telah terikat pada komitmen untuk saling percaya. Bahkan mereka berencana menikah setelah masa tugas Puspita usai.
Empat tahun terasa cepat berlalu. Hari itu Puspita telah kembali dari Papua, empat hari lebih awal dari rencana semula. Di dalam gereja sudah penuh dengan keluarga, kerabat dan teman-teman terdekat. Semuanya mengikuti prosesi dengan khidmat. Artha hampir tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Tangan kanannya terkepal, menggenggam cincin pernikahan. Bulir keringat mulai bermunculan di wajahnya. Ino, sahabat Artha mengiringinya menuju altar. Puspita memakai gaun putih yang anggun, membuatnya tampak seperti bidadari. Sebuah senyuman tersungging di bibir mungilnya. Artha melangkah mendekati Puspita. Dia berlutut, diraihnya tangan Puspita, kemudian disematkannya cincin di jari manis Puspita. Tiba-tiba Artha merasa sesak dan pandangannya berangsur menjadi gelap. Dia mendengar jeritan panik dari orang-orang di sekitarnya. Setelah itu tak ada lagi yang bisa dirasakannya.

* * * * *

Artha menghabiskan kopinya. Pahit kopi selalu mengingatkan Artha pada senyuman Puspita setahun yang lalu itu. Ya... Hari ini genap setahun meninggalnya Puspita. Infeksi paru kronis telah membunuhnya empat hari sebelum masa tugasnya berakhir.

**pernah diposting di Facebook pada 3 Februari 2012**

Wednesday, May 1, 2013

Sudah Bersih?

A: "Sudah mandi?"
B: "Sudah dong"
A: "Sudah bersih?"
B: "Ya sudah lah"
A: "Pake sabun?"
B: "Apaan sih? Ya jelas pake sabun"
A: "Enggak, cuma mau kasih tau, di belakang telingamu masih ada sisa sabun tuh"

* * * * *

Obrolan simpel, tetapi penuh makna.

Monday, April 29, 2013

Tahukah Kamu Saat Dia Hadir?

Pada suatu masa, hiduplah seorang yang sangat rajin dan taat beribadah. Dia hidup dengan suatu kepercayaan bahwa Tuhan pasti akan selalu ada untuk menolongnya. Orang-orang di sekitar tempat tinggalnya menyebut dia 'orang beriman'.

Suatu ketika datanglah hujan deras melanda desa orang tersebut. Hujan sangat deras hingga menyebabkan sungai meluap. Banjir tak dapat dicegah, desa tersebut tersapu oleh banjir. Penduduk desa panik, sebagian berhasil menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, sebagian hanyut terbawa banjir.

Si orang beriman termasuk dalam kelompok yang terlambat menyelamatkan diri. Dia hanyut terbawa arus. Akan tetapi dia tetap yakin bahwa Tuhan akan datang untuk menyelamatkannya. Dia terus berusaha untuk tidak tenggelam.

Lalu dilihatnya seorang anak kecil di atas batu besar. Anak itu membawa sebuah ranting panjang. Anak itu menjulurkan ranting itu ke arahnya sambil berteriak: "Pegang ranting ini pak! Aku akan menarikmu". Si orang beriman melihat ranting itu terlalu kecil, lagipula anak sekecil itu tak akan mampu menarikku. Dia mengabaikan uluran ranting anak kecil itu. Kembali terbawa arus, dia tetap yakin bahwa Tuhan akan datang untuk menyelamatkannya.

Si orang beriman mulai lelah melawan arus. Lalu dia mendengar teriakan seorang wanita: "Pegang ini! Aku akan menarikmu". Dia melihat seorang wanita di sebuah sampan kecil sedang mengulurkan dayung ke arahnya. Dia melihat sampan kecil yang dinaiki oleh wanita itu. "Sampan sekecil itu akan langsung terbalik ketika dia menarikku", pikir si orang beriman. Dia pun mengabaikan wanita di atas sampan itu dan terus terbawa arus. Dia masih tetap yakin bahwa Tuhan akan datang menyelamatkannya.

Si orang beriman merasa sangat lelah karena terus berjuang melawan arus. Tangan dan kakinya mulai mati rasa. Tubuhnya seakan tak merespon perintah otaknya untuk terus bergerak. "Tuhan pasti datang untuk menyelamatkan aku!", begitu pikiran si orang beriman dengan yakin.

Perlahan dia mulai tenggelam karena tak mampu lagi bergerak. Dia tenggelam semakin dalam. Air mulai membanjiri paru-paru dan perutnya. Perlahan kesadarannya hilang, dan si orang beriman itupun mati.
Setelah mati, roh si orang beriman bertemu dengan malaikat. Dia bertanya, "Hai malaikat, kenapa Tuhan tidak menyelamatkanku?". Malaikat itu menjawab, "Sesungguhnya Tuhan telah menawarkan pertolongan kepadamu dua kali, tetapi kamu tidak menerimanya".

* * * * *

Adalah penting untuk selalu percaya akan datangnya pertolongan Tuhan. Pertolongan Tuhan akan datang di saat yang tak terduga, dengan cara yang juga tidak terduga.

Pertanyaannya, apakah kita menyadari saat Tuhan menolong kita?

Saturday, April 27, 2013

Cemburu (tidak) Buta

Pertengkaran lewat telepon semalam memang lain dari pertengkaran kami selama ini. Pertengkaran semalam jauh lebih dahsyat, super duper dahsyat, kalau boleh pakai istilah hiperbolis. Terdahsyat selama 3 bulan kita berpacaran. Seperti biasa, kamu lebih banyak diam mendengarkan segala ocehan kemarahanku. Kemarahan karena cemburu. Ya, aku adalah seorang pencemburu. Mendengar kamu dekat dengan seorang cewek selain aku langsung memantik kecemburuanku.

Tapi sekarang berbeda. Kemarahanku kali ini berdasarkan fakta yang sangat jelas. Jelas karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Kemarin sore aku hangout di mall bersama Chaty dan Cece. Biasanya sih denganmu. Tapi seminggu sebelumnya kamu sudah berkata tidak bisa hangout malam itu. Aku tak ingat dengan pasti alasanmu waktu itu, yang pasti cukup masuk akal hingga aku mengiyakan dengan mudah.

Tetapi malam itu, aku yakin tidak salah lihat. Bahkan Chaty dan Cece juga melihat apa yang kulihat. Kamu juga sedang hangout di mall itu, bersama dengan seorang wanita. Wanita yang sangat anggun. Bahkan aku sendiri sempat terpana. Wanita itu memiliki fisik yang sempurna. Apa yang diimpikan tiap wanita ada padanya. Kagum, itulah perasaan pertama yang terlintas di benakku.

Tapi tunggu, masalahnya wanita sempurna itu sedang bersamamu! Pacarku!

Cemburu. Itu perasaan berikutnya yang langsung menutup semua akal sehatku. Apalagi ketika melihat kamu meraih tangannya, menggandengnya dengan mesra. Kau juga tampak ceria, senyum seakan menjadi bagian permanen dari wajahmu. Sesuatu yang, walaupun pernah, jarang ka tunjukkan saat bersamaku.

Kemudian, aku lihat kamu membeli sebuah boneka beruang besar berwarna putih untuknya. Hei, boneka itu adalah salah satu yang tercantum dalam wishlist-ku! Seharusnya kamu membelinya untukku, pacarmu!

Kami terus mengikutimu dari kejauhan. Ya, kami bertiga menguntitmu sekarang.

Jewelry Shop. Kamu masuk kesana, bersama cewek sempurna itu. Sepasang cincin! Kamu dan wanita itu memilih sepasang, lalu mencobanya. Kamu menentukan pilihan dan membelinya.

Oh tidak... Aku tak sanggup lagi...

Aku muak!

Aku cemburu!

Aku menangis.

Aku menumpahkan air mata tanpa suara tangis. Chaty dan Cece menyeretku pulang. Bisa kudengar mereka mengutuki dirimu.

* * * * *

Hari ini kamu datang ke rumahku dengan senyum bahagiamu. Kali ini aku yang diam. Lebih tepatnya tak bisa berkata-kata. Kau membawa boneka beruang besar berwarna putih dan sepasang cincin yang kamu beli kemarin.

Wanita sempurna itu tersenyum penuh pesona. Dia duduk di sebelahmu.

Hari ini kamu melamarku.

Disaksikan oleh ibumu.

Thursday, April 25, 2013

Agitiges

Rena:
Pagi itu merasa agak kesal, sms dan panggilannya ke ponsel Bobby tidak mendapat respon. Akhirnya Rena menyerah dan berangkat kuliah. Sibuk dengan tugas kampus sepanjang pagi membuatnya tidak mengetahui Bobby membalas smsnya karena handphone Rena selalu silent selama di kampus. Tugas yang dikerjakan berkelompok akhirnya selesai walaupun harus molor hampir 2 jam. Sudah pukul 14.30 saat Rena meninggalkan kampus menuju rumahnya. Serba terburu-buru karena pukul 15.00 harus bekerja part time di Parc d'Amour Cafe & Resto. Sudah sebulan Rena bekerja part time disana. Tiba di kafe sedikit terlambat dan tidak sempat makan siang. Malam minggu begini biasanya kafe sangat ramai hingga malam.

Bobby:
Membolos kuliah karena bangun kesiangan. Sms dan missed call dari Rena tak cukup untuk membangunkannya. Dan hampir setiap hari hal ini terjadi. Setelah bangun dia membalas sms Rena tetapi tidak mendapat balasan. Pukul 13.00 mencoba menghubungi Rena karena jadwal kuliah Rena seharusnya sudah selesai, tetapi tetap tanpa respon. Mulai menduga Rena marah. Kembali menghubungi satu jam kemudian, dan hasilnya tetap sama. Pikirannya mulai gusar, karena sudah sebulan terakhir Rena tak bisa diajak kencan di akhir pekan. Menghubungi sekali lagi, tetap tanpa respon. Akhirnya menghubungi Yuni, teman kuliahnya, untuk melewatkan malam minggu bersama.

Yuni:
Sepulang kuliah hangout di mall bersama teman akrabnya, bertiga mereka sering disebut trio jojoba. Tiap sabtu mereka selalu menghabiskan waktu dengan hangout di mall atau nonton. Sedikit terkejut karena Bobby menelepon untuk mengajak kencan. Dia tidak langsung mengiyakan ajakan itu. Tetapi dorongan dari dua temannya membuat dia menerima ajakan Bobby.

Unexpected Meet Up:
Pukul delapan malam, Rena benar-benar hampir pingsan. Bukan karena dia melewatkan makan siang, tetapi karena kejutan saat mengantar pesanan ke meja 18. Di meja itu duduk berhadapan Bobby dan Yuni, sedang ngobrol dengan akrab. Tampaknya Bobby juga sama terkejutnya. Dia langsung berdiri begitu tahu waitress yang mengantar pesanan mereka adalah Rena. Sedangkan Yuni hanya bengong tak paham dengan situasi yang sedang terjadi.

Tuesday, April 23, 2013

Curhat

Aku tahu betapa sakit hatimu karena keputusanku ini.
Aku tahu betapa kecewanya kamu.
Aku tahu betapa marahnya kamu.
Aku tahu cintamu akan menjadi benci setelah ini.
Tapi ini adalah keputusanku.

Memang...
Usia kita sebaya.
Kamu jejaka, tetapi aku janda beranak dua.

Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak mencintaimu.
Tetapi semua demi kelangsungan hidupku dan anak-anakku.

Kamu memang idaman banyak wanita.
Keluargamu kaya raya.
Tetapi kamu jago berfoya-foya.
Karena itulah aku memilih untuk meninggalkanmu.

Aku memilih pria lain sebagai tempat menggantungkan hidup.
Seorang pengusaha kaya yang bisa mengayomi aku dan kedua anakku.
Seseorang yang mau dan mampu menjamin hidupku beserta kedua anakku.

Kamu boleh membenci aku.
Tapi janganlah kamu benci suamiku,ayahmu...


**Curahan hati seorang janda.

Friday, April 19, 2013

Film Pendek Karya Kami

Jika sebelumnya sudah dibahas tentang buku kumpulan cerpen karya komunitas Taman Asmoro, sekarang kita akan membahas sebuah film! Ya, sebuah film independen karya komunitas Taman Asmoro.

Sebenarnya film ini adalah major project pertama Taman Asmoro, sedangkan buku kumpulan cerpen adalah major project kedua. Film ini seluruhnya dibuat oleh anggota komunitas Taman Asmoro, mulai dari penulisan script, casting, rehearsal, shooting, editing sampai film siap tayang. Film berjudul "Unpredictable" ini ditayangkan premier pada tanggal 14 Agustus 2010 di acara syukuran memperingati ulang tahun Taman Asmoro yang kedua.

"Unpredictable" mengisahkan cerita asmara dua sejoli yang bertemu di dunia maya melalui aplikasi instant messenger mig33. Jarak yang memisahkan seakan tak berarti ketika asmara sudah melanda. Masalah mulai timbul saat dua sejoli ini bertemu secara langsung.

Untuk diketahui, tema yang diangkat dalam film ini adalah kejadian yang lazim terjadi di masyarakat. Tetapi kejadian biasa tersebut berhasil dikemas oleh tim Taman Asmoro menjadi sebuah kisah yang unik, lucu dan mengharukan. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, film ini telah mendapatkan apresiasi yang baik di kalangan komunitas mig33 se-Malang Raya. Apresiasi ini didapat setelah "Unpredictable" beberapa kali diputar di acara kopdar mig33 wilayah Malang. Film ini juga pernah sekali diputar di kopdar nasional komunitas mig33 bernama Goths di Jogjakarta.

Penasaran? Langsung download filmnya di bawah ini.

UNPREDICTABLE.3GP

Kumpulan Cerpen Karya Kami

Salah satu dari sekian banyak kreativitas komunitas Taman Asmoro adalah menulis. Banyak sekali tulisan lepas yang dihasilkan dari tangan-tangan kreatif mereka.

Suatu saat timbullah ide untuk menulis cerpen dalam satu tema yang sudah ditentukan: "Love, Not Friendship". Setelah melalui proses yang penuh lika-liku, akhirnya terbitlah sebuah buku kumpulan cerpen berisi 11 cerita unik dari 11 penulis unik dengan 11 gaya tulisan unik. Buku ini berjudul "Banyak Cerita, Satu Kisah: Cinta".

Penasaran dengan bukunya?
Langsung cek bukunya di bawah ini.


**klik image untuk memesan bukunya**