Saturday, May 31, 2014

Gamma Rangers: Blackout (Chapter 18)



Gamma Rangers: Blackout
Chapter 18


"Kolonel, kami sudah menemukan tabung bom dalam pipa", lapor Letnan Angus.

"Bagus Letnan. Sekarang buka penutup yang ada di sisi paling ujung", perintah Kolonel.

"Siap!", jawab Letnan Angus. Setelah itu komunikasi sempat hening untuk beberapa detik. "Yap, sudah terbuka", lanjutnya.

"Apa yang kau lihat Letnan?", tanya Kolonel untuk memastikan jenis bomnya sama.

"Sebuah keping PCB yang rumit tanpa satupun petunjuk", jawab Letnan Angus.

"Bagus, sekarang lepaskan PCB itu dari tempatnya. Ingat, lakukan dengan perlahan", perintah Kolonel Blues.

"Sudah lepas, Kolonel. Ada sebuah kabel hitam besar yang terhubung ke bagian dalam tabung", jawab Letnan Angus setelah melakukan perintah atasannya.

"Bagus, segera perintahkan tim Alpha 2 Echo untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu standby dan tunggu instruksi selanjutnya", perintah Kolonel.

"Siap!", jawab Letnan Angus dengan tegas.

"Letnan Suko", panggil Kolonel.

"Siap, Kolonel", jawab Letnan Suko di seberang.

"Kau sudah mendengar pembicaraan kami tadi kan?", tanya Kolonel Blues.

"Sudah saya lakukan sesuai dengan perintah Anda, Kolonel", jawab Letnan Suko dengan lantang.

"Bagus, Letnan"

* * * * *

"Saboteur", panggil sosok tersebut. Kali ini suaranya bernada ramah dan lembut.

"Ya?", jawab Saboteur dengan lemas.

"Berapa lama kau belajar tentang bom?", tanya sosok itu.

"Sejak pertama kali aku masuk Delta Force. Hampir 4 tahun", jawab Saboteur pelan.

"Berarti sudah banyak yang kau pelajari", kata sosok tersebut.

"Begitulah", Saboteur sudah kehilangan semangatnya.

"Beritahu aku, bagaimana struktur rangkaian bom waktu yang paling sederhana", tanya sosok itu. Sementara tabung bom itu terus mengeluarkan bunyi 'bip' tiap detiknya.

"Sangat mudah, siapkan saja sebuah timer, picu peledak dan baterai, lalu hubungkan satu sama lain", jawab Saboteur.

"Berarti kita bisa menjinakkannya dengan memotong kabel yang menuju baterai?", tanya sosok itu lagi.

"Tidak. Jika kau memotongnya, kau akan meledakkannya. Timer akan mati karena suplai daya dari baterai terputus. Timer yang mati akan dianggap nol dan memicu ledakan", terang Saboteur dengan malas.

"Ah, ternyata ada tiga kabel ya. Kupikir rangkaian yang paling sederhana hanya memerlukan satu kabel saja", kata sosok tersebut.

"Tentu saja, satu kabel tak akan bisa membuat rangkaian berfungsi...", tiba-tiba Saboteur terdiam, otaknya menyadari sesuatu.

Sejurus kemudian Saboteur kembali memeriksa rangkaian dalam tabung. Timer menunjukkan waktu 00:03:31. Saboteur mengeluarkan cutter dari sakunya, lalu mengupas kabel hitam besar yang terhubung ke PCB. Di dalam kabel ternyata terdapat tiga buah kabel berukuran kecil, masing-masing berwarna biru, putih dan merah. Sedangkan sosok berbaju hitam itu berbicara melalui radio satelitnya, memberikan instruksi persis seperti yang dilakukan Saboteur.

"Ha... Rangkaian dasar", sorak Saboteur. Dia menemukan kembali semangatnya. Dia kembali memeriksa rangkaian dengan lebih teliti. Tetapi dia kembali menemui jalan buntu. Seluruh kabel tersambung menuju bagian dalam tabung yang tertutup dan tanpa celah.

* * * * *

Armstrong telah sampai di atas bendungan, dia melompati pagar dan mengibaskan tangannya yang pegal. Dia langsung berlari menuju tempat rekan-rekannya terikat. Tetapi aksinya itu ternyata diketahui oleh seseorang di rest area. Orang itu adalah Mayor Bishop.

"Leo!", seru Mayor. "Hentikan orang itu!", perintahnya sambil menunjuk ke arah Armstrong.

"Siap, Mayor!", jawab Leo sambil berlari secepat yang dia mampu menuju ke arah bendungan.

"Ada apa Mayor?", tanya Jendral Sodatoy.

"Satu orang Delta Force berhasil lolos, Jendral", jawab Mayor Bishop sambil menunjuk Armstrong yang sedang berada di atas bendungan.

"Aahhh... Seharusnya tak perlu dikejar, Mayor. Bendungan akan runtuh beberapa menit lagi", jawab sang Jendral dengan enteng.

Di atas bendungan, Leo ternyata bisa berlari lebih cepat dari Armstrong yang memang lambat. Dia berada tepat di belakang Armstrong beberapa meter sebelum sampai di tempat tawanan terikat.

"Armstrong! Hati-hati di belakangmu!", teriak Ace berusaha memperingatkan rekannya.

"Cepat Armstrong! Musuh mengejarmu!", Spy juga tak mau kalah. Dia berteriak sekuat tenaga.

"Armstrong, kau bawa minuman? Panas sekali disini", teriak Explorer tak kalah keras. Ace dan Spy langsung terdiam dan memandang Explorer dengan sorot mata yang aneh.

"Hah? Kalian bilang apa?", Armstrong berhenti berlari, dia tak mendengar jelas teriakan rekannya karena angin yang bertiup kencang.

Di saat bersamaan, Leo yang sudah bersiap melompat untuk menerkam Armstrong tak menyangka jika sasarannya akan berhenti mendadak. Dia sempat memiringkan badannya, berharap menghindari benturan dengan punggung Armstrong. Leo berhasil membelokkan arah dengan susah payah ke sebelah kanan.

"Aku tak bisa mendengar kalian", kata Armstrong sambil menaikkan bahu dan merentangkan kedua tangannya. Tanpa diduga, tangan kanannya terbentur sesuatu. "Ups, apa itu?", Armstrong sontak menoleh ke kanan dan dilihatnya sesosok tubuh terpelanting di sisinya. Jatuh membentur aspal jalan, bergulung beberapa kali, dan akhirnya tak bergerak. Beberapa gigi dan hidungnya remuk karena membentur lengan Armstrong.

"Bagus Armstrong!" teriak Ace girang. "Sekarang bebaskan kami", lanjutnya.

"Bukan salahku! Aku tak sengaja", Armstrong berusaha membela diri.

"Armstrong, mendekatlah", kali ini Spy yang berbicara pelan. "Kemarilah dan bebaskan kami", Spy melafalkan setiap suku kata dengan jelas.

"Sudah kubilang, aku tidak sengaja", jawab Armstrong. Tampaknya tiupan angin telah melemahkan pendengaran Armstrong.

"Hei Armstrong, kau punya minuman?", seru Explorer, sekali lagi dua rekannya memberikan sorotan mata aneh.

"Baiklah, aku segera membebaskan kalian", jawab Armstrong sambil berlari mendekat.

* * * * *

Saturday, May 24, 2014

Gamma Rangers: Blackout (Chapter 17)



Gamma Rangers: Blackout
Chapter 17


"Apa yang sedang kalian lakukan!?", teriak Gubernur Zuger di telepon.

"Tentu saja kami sedang menjalankan misi", jawab CB dengan kalem. Dia tak mau meladeni amarah sang Gubernur.

"Misi kalian gagal!", emosi Zuger sangat memuncak kali ini.

"Darimana Anda mendapatkan omong kosong itu Gubernur?", tanggapan CB masih tetap kalem.

"Nyalakan televisimu! Semua orang sudah tahu sekarang!", teriakan histeris Zuger diakhiri dengan suara bantingan gagang telepon.

"Apa maksud.....", CB tak menyelesaikan kalimatnya. Dia buru-buru membuka laci dan mencari remote televisi. Setelah menemukannya, segera ditekannya tombol power.

CB mendadak lemas setelah melihat sebuah liputan khusus di televisi. Tampak kamera menyorot tiga orang yang terborgol di pagar bendungan, mereka adalah Explorer, Ace dan Spy. Reporter di televisi itu menjelaskan bahwa mereka mendapat telepon ancaman teror di PLTA Sutami.

Reporter itu juga menyebut tiga orang yang terikat di pagar bendungan adalah sandera teroris. Mereka juga menyoroti kinerja kepolisian dan militer yang kecolongan dengan aksi teror ini. Mendekati batas waktu yang ditetapkan pihak teroris, belum terlihat tanda-tanda diturunkannya pasukan anti teror di lokasi.

Siaran khusus ini tidak hanya disiarkan di satu stasiun televisi, hampir semua chanel menyiarkan berita yang sama. Beberapa bahkan membuat simulasi bencana banjir terbesar yang akan terjadi jika lima bendungan benar-benar diledakkan. Hal ini segera menimbulkan kepanikan masyarakat Jawa Timur, terutama yang tinggal di sepanjang aliran sungai Brantas.

Beberapa narasumber malah mulai menghitung potensi kerugian dan dampak berkepanjangan akibat bencana yang akan terjadi.

CB berusaha menguasai dirinya. Dia melihat sudut bawah layar monitor, waktu menunjukkan pukul 7.43, berarti 17 menit menuju deadline.

"Kolonel...", panggil CB melalui panggilan radio. Tak ada jawaban. "Kolonel Blues...", panggilnya sekali lagi.

"Ada apa, CB?", akhirnya Kolonel Blues menjawab.

Selanjutnya CB melaporkan perkembangan situasi terbaru. Dia laporkan semua mulai dari telepon Gubernur Zuger, informasi yang bocor kepada media, sampai pada tiga orang yang tertangkap di PLTA Sutami.

"Tunggu... Siapa saja yang tertangkap?", tanya Kolonel Blues.

"Explorer, Ace dan Spy", jawab CB.

"Berarti kita masih bisa mencegah bencana", jawab Kolonel blues.

"Maksudnya?", CB tak langsung memahami perkataan Kolonel Blues.

"Kita masih punya tiga orang di Sutami. Sejauh ini posisi kita masih unggul", jelas Kolonel. Setelah itu dia mengakhiri pembicaraan.

"Hah? Tiga?", CB terhenyak di kursinya sambil mengerenyitkan dahi. Otaknya berputar dengan cepat. Selain tiga orang yang tertawan di pagar bendungan, hanya tersisa Saboteur dan Armstrong. Lalu siapa orang ketiga yang dimaksud Kolonel Blues tadi?

* * * * *

Saboteur dan Armstrong sampai di ruang turbin. Ruang ini sama remangnya dengan ruang generator di atas. Hanya saja udaranya jauh lebih lembab. Mereka tak melihat seorangpun disana, mungkin mereka akan benar-benar menemui hantu di sini.

"Armstrong", terdengar suara yang mengejutkan mereka berdua. Tetapi suara itu masih belum menunjukkan wujudnya. "Pergilah ke sebelah kananmu, disana ada pintu. Dari sana kamu bisa langsung mendaki ke atas bendungan", lanjut suara tersebut.

Armstrong merasa ragu mengikuti arahan suara itu. Dia hanya berpandangan dengan Saboteur. Anggukan rekannya itu membuatnya segera melangkahkan kaki menuju tempat yang dimaksudkan.

Disana dia menemukan sebuah pintu besi dengan roda pengunci, seperti yang digunakan pada pintu kapal. Pintu itu sudah banyak ditumbuhi lumut, beberapa bagian bahkan mulai berkarat. Armstrong memutar roda itu untuk membuka pintu. Ternyata tidak mudah memutar roda pengunci itu, bahkan untuk Armstrong sekalipun.

"Pasti sudah rusak", gumam Armstrong. Dia mencoba lagi dengan mengerahkan tenaga yang lebih besar. "Heaaa!", tetapi usahanya itu masih belum berhasil memutar roda tersebut. Setelah percobaan ketiga yang menggunakan seluruh kekuatannya, pintu tersebut masih juga kokoh. Armstrong terengah-engah, dia sulit mempercayai kekuatan pintu besi tersebut.

"Armstrong", suara itu terdengar lagi.

"Ya?", Armstrong menoleh ke sumber suara sambil mengatur nafasnya.

"Kau memutar roda itu ke arah yang salah", suara misterius itu terdengar datar kali ini.

"Ah...", Armstrong tak bisa berkata-kata, dicobanya memutar ke arah sebaliknya, dan dengan mudah roda itu berputar. Pintu pun terbuka.

Di luar pintu tampak batuan besar yang merupakan dinding luar bendungan. Armstrong melangkah keluar dan melihat ke atas. Dua belas meter di atasnya adalah anjungan tempatnya berdiri sebelumnya. mengingat waktu yang ada semakin sedikit, Armstrong langsung memanjat bebatuan itu menuju ke atas bendungan.

* * * * *

Di dalam ruang turbin yang lembab, Saboteur tiba-tiba merasa merinding merasakan keberadaan seseorang di belakangnya. Dia membalikkan badannya, tapi tak melihat seorangpun disana.

"Saboteur", tiba-tiba saja suara itu terdengar sangat dekat. Saboteur sangat terkejut ketika menoleh dan mendapati seseorang telah berdiri di sampingnya.

"Woaaaa...!", Saboteur berteriak ketakutan sambil bergerak menjauh. Matanya terbeliak memandang sosok tersebut.

Sosok itu tak terlalu tinggi, memakai pakaian serba hitam dengan rompi yang biasa dipakai satuan khusus militer. Sosok itu memakai balaclava yang menutupi wajahnya. Di pinggangnya tergantung sebuah pistol.

Yang lebih menarik perhatiannya adalah sebuah senapan laras panjang tergantung di punggung sosok tersebut. Pandangan Saboteur beralih ke bawah, dilihatnya kaki orang itu menapak bumi. Ada kelegaan di hati Saboteur mengetahui sosok tersebut bukan hantu.

"Kita langsung saja", perkataan orang itu menyadarkan Saboteur dari lamunannya. "Tugasmu disini untuk menjinakkan bom. Nasib lima bendungan tergantung pada kemampuanmu. Ada pertanyaan?", sosok tersebut berhenti sebentar, menunggu respon Saboteur. Sepertinya Saboteur tak memiliki pertanyaan apapun saat ini. "Ikut aku, kutunjukkan lokasi bom itu", lanjut sosok tersebut sambil berjalan menuju tiga buah pipa besar.

Mereka mendekati pipa di tengah. Di sisi pipa terdapat sebuah pintu palka berdiameter 60 cm. Sosok itu membukanya, lalu masuk ke dalam setelah menyalakan senter. Saboteur segera menyusulnya. Di dalam pipa berdiameter 1,2 meter itu sangat gelap dan lembab, selain itu juga sangat licin. Sambil merangkak menyusuri pipa, sosok itu menjelaskan bahwa mereka sedang berada di dalam pipa penstock, bagian pipa yang mengalirkan air untuk mendorong turbin.

Awalnya air di bendungan masuk melalui pipa intake yang memiliki diameter lebih besar. Pipa itu mengarah ke bawah, nyaris vertikal di tengah badan bendungan. Kemudian tersambung pada pipa melingkar yang berfungsi mengurangi tenaga dorongan air. Pipa melingkar itu kemudian tersambung dengan penstock horizontal yang sedang mereka lalui.

"Nah, sekarang bagianmu", sosok itu berdiri sambil menunjuk sebuah benda panjang di dasar pipa. Kini mereka telah sampai di pipa lingkar yang berdiameter 2,5 meter.

"Itu bomnya?", kata Saboteur. Diperhatikannya sebuah tabung sepanjang satu meter dan berdiameter 40 cm. Bom sebesar ini memang tak akan sanggup meruntuhkan bendungan. Tetapi akan berbeda jika diledakkan tepat di dalam badan bendungan.

"Masuk ke dalam pipa penstock, bomnya ada disana", kembali terdengar suara sosok berbaju hitam tersebut.

"Hah? Apa? Kita sudah menemukan bomnya bukan?", sahut Saboteur dengan heran. Dia menoleh ke arah sosok itu, tapi ternyata sosok tersebut tidak berbicara padanya, melainkan berbicara melalui sebuah radio satelit.

"Tunggu instruksi selanjutnya setelah kalian menemukan bomnya", lanjut sosok tersebut.

"Kepada siapa kau bicara?", tanya Saboteur.

"Maaf, sesi tanya jawab sudah ditutup. Kau bisa mengajukan satu pertanyaan setelah semua ini selesai", sosok tersebut kemudian melihat arlojinya. "Waktumu hanya 12 menit untuk menjinakkan bom itu", kembali mengingatkan tujuan utama mereka berada disini.

"Baiklah, aku akan menagihmu nanti", jawab Saboteur sambil berlutut di samping bom.

Saboteur memperhatikan struktur luar bom dengan seksama. Ada sebuah bagian selebar 20 cm di ujung tabung yang tampaknya bisa dilepas. Saboteur segera meraih peralatan di pinggangnya dan melepas baut di bagian itu. Setelah dibuka, tampaklah sebuah panel yang rumit dan lagi-lagi tanpa ada satupun keterangan yang tertera. Hanya sebuah timer digital yang bisa dia pahami.

"Ahhhh... Lagi-lagi panel polos! Aku benci ini!", Saboteur merasa sangat kesal, diungkapkannya dengan umpatan-umpatan yang tak jelas artinya.

"Carilah dengan lebih teliti, tak mungkin polos sama sekali", saran sosok misterius itu.

Saboteur segera melepas keping PCB dari tempatnya. Di bawahnya ada sebuah kabel hitam besar yang menghubungkan panel dengan bagian dalam tabung, kemungkinan langsung terhubung dengan picu peledak.

"Tak ada petunjuk!", kata Saboteur panik.

"Cari lagi, lebih teliti", kata sosok itu.

"Tidak ada! Bom ini tak bisa dijinakkan!", kali ini Saboteur benar-benar berteriak di tengah kepanikan.

PLAKKK!!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Saboteur, langsung membuatnya terdiam. Sosok hitam itu telah menamparnya, telak.

"Kutanya sekali lagi, kau bisa menjinakkan bom?", tanya sosok tersebut dengan suara berat.

"Aku bisa", jawab Saboteur dengan suara yang bergetar. "Tapi ini sangat sulit", lanjutnya. Tetapi tak sepanik tadi.

"Kau bisa menjinakkan bom ini, tapi kau terlalu pesimis untuk melakukannya", lanjut sosok tersebut.

"Memang sulit, tak ada petunjuk sama sekali", jawab Saboteur lemas. Sesaat kemudian dari tabung itu terdengar suara 'bip' yang berulang setiap detik. "Lima menit sebelum ledakan", desis Saboteur lemas. Mereka pun terdiam.

* * * * *

Saturday, May 17, 2014

Gamma Rangers: Blackout (Chapter 16)



Gamma Rangers: Blackout
Chapter 16


Di luar ruang generator, tampak Armstrong termangu. Dia berdiri di tepi anjungan ruang generator, memandang ke bawah. Ketinggian anjungan tempatnya berdiri sekitar dua belas meter, di bawahnya adalah batu-batu besar yang membentuk dinding bendungan.

"Lalu... Bagaimana aku bisa menyeberang?", tanya Armstrong. Tentu saja takkan ada yang menjawabnya. "Bodohnya aku, sudah tahu tak ada orang malah bertanya", gumamnya.

Armstrong mengamati sekelilingnya, berharap menemukan jalur lain untuk mencapai dinding bendungan. Mustahil untuk melompat, dengan berat tubuhnya dia pasti akan meluncur ke bawah, langsung menghantam bebatuan.

"Lalu bagaimana pasukan pemberontak tadi bisa menyeberang dan mendaki bendungan", kembali satu pertanyaan tak terjawab meluncur dari bibirnya. Dia juga tak melihat tangga atau tali menuju ke bawah.

Armstrong tampak putus asa karena tak kunjung menemukan jalan. "Masa aku harus kembali dan mengambil jalan memutar?", gumamnya. Sekali lagi bertanya, dan tak ada yang menjawabnya.

* * * * *

"Teman katamu?", tanya Saboteur heran.

"Ya, teman", kali ini ada suara yang menjawabnya.

"Tahu tidak? Baru kali ini aku bicara dengan hantu", kata Saboteur bergidik.

"Hahaha... Jangan takut. Turunlah ke ruang turbin, akan kutunjukkan dimana bom itu berada", lanjut suara itu.

"Hei... Tunggu! Timernya ada disini", sanggah Saboteur.

"Apakah kau menemukan peledaknya juga?", suara itu kembali bertanya.

"Nggg... Tidak. Tapi pasti ada di ujung kabel yang terpasang", jawab Saboteur.

"Kalau begitu, carilah ujungnya", perintah suara tersebut.

Sejenak Saboteur merasa ragu, tetapi saat dilihatnya timer menunjukkan angka 00:24:11 dia merasa masih memiliki cukup waktu untuk mencari peledak itu. Dengan bantuan lampu senter, dia bergegas merunut kabel tersebut, mulai dari slot pertama. Kabel itu terletak di lantai, dipasang merapat di sepanjang dinding. Saboteur mengikuti alur kabel tersebut dan sangat terkejut mengetahui apa yang dia temukan di ujungnya.

* * * * *

"Injury time, Gubernur. Sepertinya Anda lebih suka melihat bencana", kata Jendral Sodatoy di telepon.

"Aku tahu! Tetapi mengumpulkan uang sebanyak itu butuh waktu yang tidak sedikit!", dari nada suaranya tampak sekali Gubernur Zuger sangat gusar.

"Sebelumnya kami sudah memberimu 12 jam", dingin saja ucapan Sodatoy. "Sekarang kau hanya punya 20 menit saja". Sodatoy langsung menutup telepon. Dia semakin yakin Gubernur Zuger tak akan menuruti tuntutannya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Jendral Sodatoy segera mengenali suara itu, helikopter.

"Mayor!", panggil Sodatoy dengan lantang.

"Siap, Jendral!", Mayor Bishop segera mendekati atasannya.

"Sudah kau hubungi media?", tanya sang Jendral.

"Siap! Sudah saya hubungi. Itu pasti helikopter mereka", jawab Bishop dengan tegas.

"Bagus, laksanakan tahap penyamaran!", perintah Sodatoy.

"Siap! Laksanakan!", setelah itu Mayor Bishop segera memberikan beberapa instruksi kepada anak buahnya.

Pasukan pemberontak dengan segera melepas semua atribut militer mereka dan berganti dengan pakaian sipil. Tak hanya itu, seluruh persenjataan dan perlengkapan militer segera mereka kumpulkan ke dalam bak truk. Setelah itu mereka menutupinya dengan terpal. Seluruh atribut militer di kendaraan pun ditanggalkan. Sekarang mereka terlihat seperti rombongan yang sedang wisata di bendungan.

* * * * *

Saboteur merasa dibodohi sekali lagi. Kabel yang terpasang di slot 1 ternyata berakhir di slot 2. Dia bergegas mengikuti kabel di slot 3, kabel itu mengarah ke atas, menuju langit-langit ruangan. Saboteur terus mengikuti alur kabel tersebut, kembali mengitari ruangan. Saboteur merasa berang saat mendapati kabel itu berakhir di slot 4. Dia mengumpat tak jelas.

"Sudah kau temukan?", tanya suara tersebut.

"Tidak ada peledak disini", jawab Saboteur geram.

"Hahaha... Turunlah, bom itu disini", suara misterius itu seperti menertawakan kebodohan Saboteur yang kembali tertipu mentah-mentah.

Tak punya pilihan lain, Saboteur segera berjalan menuju lubang di lantai tempat tangga untuk menuju ke ruang turbin berada. Baru saja menuruni dua anak tangga, Saboteur dikejutkan oleh pintu keluar yang tiba-tiba terbuka. Armstrong masuk dengan tergopoh-gopoh.

"Hei! Kenapa kau kembali dengan terburu-buru?", tanya Saboteur heran.

"Aku harus memutar untuk pergi ke atas bendungan, tidak ada jalan di luar sana", jawab Armstrong dengan cepat.

"Hah? Apa maksudmu?", Saboteur tak kalah bingung. Jelas-jelas tadi mereka melihat pasukan pemberontak bisa mendaki dinding bendungan, tetapi sekarang Armstrong mengatakan tak ada jalan.

"Kalian berdua cepatlah turun", suara misterius itu kembali terdengar. "Armstrong, akan kutunjukkan jalannya padamu", lanjut suara itu.

"Siapa itu?", tanya Armstrong berbisik.

"Hantu", jawab Saboteur singkat.

"Hah?", bulu kuduk Armstrong langsung meremang.

* * * * *