Gamma Rangers:
Blackout
Chapter 20
"Habis
sudah", CB jatuh terduduk di depan televisi. Dia tak percaya pada apa yang
dilihatnya di layar televisi.
Sebuah
bola api besar tampak memenuhi layar televisi. Gambar yang bergoyang tak
beraturan menandakan kameramen dalam helikopter juga terhempas oleh efek
ledakan. Sementara itu suara reporter terus menyuarakan bencana terbesar
akhirnya terjadi. Diselingi dengan teriakan-teriakan panik dari seluruh kru di
dalam helikopter. CB tak sanggup lagi melihat tayangan itu, dia segera
mematikan televisi.
"Tampaknya
seluruh personel Delta Force harus pensiun dini", ujar CB menunduk.
Terlintas di pikirannya tagihan bulanan yang harus dibayar.
* *
* * *
Teriakan
dan jeritan histeris terdengar bersahutan di bendungan Karangkates. Kepanikan
melanda tanpa bisa dibendung. Tubuh-tubuh bergelimpangan, terhempas oleh angin ledakan.
Pemandangan yang benar-benar miris.
"Mayor!",
teriak Jendral Sodatoy. "Apa yang terjadi?".
"Jendral...
Aku tidak tahu", jawab Mayor Bishop terbata.
"Tikus
yang satu lagi! Sudah kau temukan?", seru Jendral Sodatoy dengan penuh
amarah.
"Tidak
kutemukan, Jendral", kali ini Mayor Bishop tampak pucat. Luka-luka di
sekujur tubuhnya membuat Mayor Bishop nyaris tak bisa bergerak.
"Aaaaaarrrgghhh...!!!",
Jendral Sodatoy meluapkan amarahnya dengan mimik wajah murka.
Jendral
Sodatoy berusaha berdiri, melupakan pedih di beberapa bagian tubuhnya yang
terluka. Dilihatnya seluruh kendaraan pasukannya telah terbakar dengan hebat.
Posisi kendaraan yang semula terparkir rapi, kini telah terlempar ke segala
arah. Jendral Sodatoy melihat sebuah cekungan yang cukup besar di tempat
kendaraan itu terparkir sebelumnya.
Masih
dengan tertatih, Jendral berjalan mendekat ke arah bendungan. Dia berusaha
menjauhi kepulan asap yang menghalangi pandangannya. Di balik asap itu dia
melihat air bendungan yang tenang. Matanya terbeliak lebar saat melihat
bendungan itu masih utuh. Sang Jendral terjatuh berlutut, dia berteriak sekuat
tenaga. Sebuah teriakan murka dengan teknik falsetto.
* *
* * *
"Nice
job", kata sosok itu sambil menepuk bahu Saboteur.
"Aku
nyaris tak mempercayainya", Saboteur masih tampak shock. Dia terduduk
lemas, keringat masih membanjiri tubuhnya.
"Ayo
keluar, ada satu hal lagi yang harus kita pastikan", sosok tersebut
berjalan dengan cepat kembali menuju ruangan turbin.
"Hei...
Tunggu aku...", Saboteur segera menyusulnya.
Mereka
dengan cepat keluar dari pipa penstock, kemudian keluar melalui pintu yang
sebelumnya dilewati Armstrong. Sosok itu dengan cekatan berlari menyusuri
sepanjang dasar bendungan, melompat dari satu batu ke batu yang lain. Di belakangnya,
Saboteur sedikit kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya saat melompat.
Sampai
di spillway, tanpa berhenti sosok itu menjejak bibir spillway dan melompat
kanal yang sedang dipenuhi air tersebut. Saboteur menghentikan langkahnya di
bibir spillway. Dia merasa ragu untuk ikut melompat. Dilihatnya arus air
spillway yang sangat deras. Jika lompatannya tak mencapai sisi lain kanal ini,
dia akan langsung terbawa arus seperti malam sebelumnya. Tetapi dilihatnya
sosok misterius itu terus berlari menjauh. Dia harus segera menyusulnya.
Saboteur
membulatkan tekadnya. dia mundur beberapa meter, lalu berlari secepat mungkin
dan melompati kanal itu. Dia berhasil menyeberang, tetapi pendaratannya tak
sempurna hingga terjerembap di bebatuan. Tetapi dia segera bangkit dan menyusul
sosok misterius yang sudah semakin jauh itu.
Sosok
itu berlari menuruni lereng pondasi bendungan, lalu memanjat pagar kawat
pembatas area bendungan. Setelah itu dia langsung berlari menyusuri pematang
sawah yang terdapat di luar pagar. Ujung pematang berakhir di sebuah celah
sempit, dengan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di antara dua bukit
yang terjal. Sosok itu menyibakkan rumput yang tinggi, mendaki melalui sebuah
jalan setapak yang tersamarkan. Saboteur segera menyusul, nafasnya
terengah-engah karena harus berlari sambil memperhatikan langkahnya.
Saboteur
terus menyusuri jalan setapak, menyusuri sisi barat bukit. Setelah beberapa
menit berlari, dia mencapai puncak bukit. Dadanya terasa panas karena terus
berlari. Dari puncak bukit dia bisa melihat hamparan air bendungan di bawahnya.
Berarti dia telah berlari mengitari dua pertiga bagian bukit itu. Dia juga
melihat asap hitam membubung dari sisi selatan bendungan. Melalui teropongnya,
dia melihat beberapa kendaraan terbakar dan banyak tubuh-tubuh bergelimpangan
di sekitarnya.
Sesaat
dia kembali teringat akan sosok yang dikejarnya tadi. Dia mencari di
sekelilingnya sampai radius yang cukup luas. Tetapi sosok itu telah lenyap.
* *
* * *
"Tampaknya
pasukan pemberontak telah memasang bom di kendaraannya sendiri", ujar Ace
sambil mengamati ujung selatan bendungan melalui teropongnya. Ace dan tiga
rekannya telah berada di ujung utara bendungan.
"Spy,
ayo ambil motor. Kita segera memeriksa kesana", ajak Explorer sambil
berlari menuju motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Spy
menguntit di belakangnya.
"Armstrong,
kau tampak sangat berantakan", komentar Ace pada Armstrong yang duduk
bersandar di dinding batu. Jika diperhatikan dengan seksama, rekannya itu memang
tampak jauh dari kata baik-baik saja. Memar tampak memenuhi wajahnya,
seragamnya pun koyak di beberapa bagian.
"Aku
hanya terlalu bersemangat tadi", jawab Armstrong sambil mengatur nafasnya
dengan susah payah.
"Kau
bertemu lawan sepadan?", tanya Ace menebak.
"Kapten
Ringo lawan yang kuat dan cerdik", kata Armstrong. "Tetapi aku jauh
lebih kuat", cengir Armstrong sambil menepukkan telapak tangan ke otot
bisepsnya.
"Hahaha...
Kau memang tak tertandingi dalam hal adu kekuatan", Ace berkata sambil
ikut menepuk lengan rekannya.
"Yow,
kalian ikut menyeberang?", tanya Explorer. Dia sudah duduk di atas Dagger
Navi+ dan Spy sudah siap di atas Demon SPD-nya.
"Aku
mau beristirahat sebentar", jawab Armstrong.
"Kalau
begitu aku tinggal disini bersama Armstrong", timpal Ace.
"Wokeee...",
tanpa basa-basi lebih lama, Explorer segera melajukan motornya dengan
akselerasi spontan.
"Aku
berangkat dulu, teman-teman", Spy berpamitan dulu sebelum melaju menyusul
Explorer. Ace dan Armstrong melambaikan tangannya.
"Menurutmu...",
kata Armstrong dengan nada serius. "Siapa yang akan sampai di ujung
bendungan lebih dulu?", lanjutnya. Masih serius.
"Spy",
jawab Ace singkat.
"Aku
bertaruh secangkir kopi untuk Explorer", kata Armstrong.
* *
* * *
No comments:
Post a Comment