Saturday, June 14, 2014

Gamma Rangers: Blackout (Chapter 20)



Gamma Rangers: Blackout
Chapter 20


"Habis sudah", CB jatuh terduduk di depan televisi. Dia tak percaya pada apa yang dilihatnya di layar televisi.

Sebuah bola api besar tampak memenuhi layar televisi. Gambar yang bergoyang tak beraturan menandakan kameramen dalam helikopter juga terhempas oleh efek ledakan. Sementara itu suara reporter terus menyuarakan bencana terbesar akhirnya terjadi. Diselingi dengan teriakan-teriakan panik dari seluruh kru di dalam helikopter. CB tak sanggup lagi melihat tayangan itu, dia segera mematikan televisi.

"Tampaknya seluruh personel Delta Force harus pensiun dini", ujar CB menunduk. Terlintas di pikirannya tagihan bulanan yang harus dibayar.

* * * * *

Teriakan dan jeritan histeris terdengar bersahutan di bendungan Karangkates. Kepanikan melanda tanpa bisa dibendung. Tubuh-tubuh bergelimpangan, terhempas oleh angin ledakan. Pemandangan yang benar-benar miris.

"Mayor!", teriak Jendral Sodatoy. "Apa yang terjadi?".

"Jendral... Aku tidak tahu", jawab Mayor Bishop terbata.

"Tikus yang satu lagi! Sudah kau temukan?", seru Jendral Sodatoy dengan penuh amarah.

"Tidak kutemukan, Jendral", kali ini Mayor Bishop tampak pucat. Luka-luka di sekujur tubuhnya membuat Mayor Bishop nyaris tak bisa bergerak.

"Aaaaaarrrgghhh...!!!", Jendral Sodatoy meluapkan amarahnya dengan mimik wajah murka.

Jendral Sodatoy berusaha berdiri, melupakan pedih di beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Dilihatnya seluruh kendaraan pasukannya telah terbakar dengan hebat. Posisi kendaraan yang semula terparkir rapi, kini telah terlempar ke segala arah. Jendral Sodatoy melihat sebuah cekungan yang cukup besar di tempat kendaraan itu terparkir sebelumnya.

Masih dengan tertatih, Jendral berjalan mendekat ke arah bendungan. Dia berusaha menjauhi kepulan asap yang menghalangi pandangannya. Di balik asap itu dia melihat air bendungan yang tenang. Matanya terbeliak lebar saat melihat bendungan itu masih utuh. Sang Jendral terjatuh berlutut, dia berteriak sekuat tenaga. Sebuah teriakan murka dengan teknik falsetto.

* * * * *

"Nice job", kata sosok itu sambil menepuk bahu Saboteur.

"Aku nyaris tak mempercayainya", Saboteur masih tampak shock. Dia terduduk lemas, keringat masih membanjiri tubuhnya.

"Ayo keluar, ada satu hal lagi yang harus kita pastikan", sosok tersebut berjalan dengan cepat kembali menuju ruangan turbin.

"Hei... Tunggu aku...", Saboteur segera menyusulnya.

Mereka dengan cepat keluar dari pipa penstock, kemudian keluar melalui pintu yang sebelumnya dilewati Armstrong. Sosok itu dengan cekatan berlari menyusuri sepanjang dasar bendungan, melompat dari satu batu ke batu yang lain. Di belakangnya, Saboteur sedikit kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya saat melompat.

Sampai di spillway, tanpa berhenti sosok itu menjejak bibir spillway dan melompat kanal yang sedang dipenuhi air tersebut. Saboteur menghentikan langkahnya di bibir spillway. Dia merasa ragu untuk ikut melompat. Dilihatnya arus air spillway yang sangat deras. Jika lompatannya tak mencapai sisi lain kanal ini, dia akan langsung terbawa arus seperti malam sebelumnya. Tetapi dilihatnya sosok misterius itu terus berlari menjauh. Dia harus segera menyusulnya.

Saboteur membulatkan tekadnya. dia mundur beberapa meter, lalu berlari secepat mungkin dan melompati kanal itu. Dia berhasil menyeberang, tetapi pendaratannya tak sempurna hingga terjerembap di bebatuan. Tetapi dia segera bangkit dan menyusul sosok misterius yang sudah semakin jauh itu.

Sosok itu berlari menuruni lereng pondasi bendungan, lalu memanjat pagar kawat pembatas area bendungan. Setelah itu dia langsung berlari menyusuri pematang sawah yang terdapat di luar pagar. Ujung pematang berakhir di sebuah celah sempit, dengan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di antara dua bukit yang terjal. Sosok itu menyibakkan rumput yang tinggi, mendaki melalui sebuah jalan setapak yang tersamarkan. Saboteur segera menyusul, nafasnya terengah-engah karena harus berlari sambil memperhatikan langkahnya.

Saboteur terus menyusuri jalan setapak, menyusuri sisi barat bukit. Setelah beberapa menit berlari, dia mencapai puncak bukit. Dadanya terasa panas karena terus berlari. Dari puncak bukit dia bisa melihat hamparan air bendungan di bawahnya. Berarti dia telah berlari mengitari dua pertiga bagian bukit itu. Dia juga melihat asap hitam membubung dari sisi selatan bendungan. Melalui teropongnya, dia melihat beberapa kendaraan terbakar dan banyak tubuh-tubuh bergelimpangan di sekitarnya.

Sesaat dia kembali teringat akan sosok yang dikejarnya tadi. Dia mencari di sekelilingnya sampai radius yang cukup luas. Tetapi sosok itu telah lenyap.

* * * * *

"Tampaknya pasukan pemberontak telah memasang bom di kendaraannya sendiri", ujar Ace sambil mengamati ujung selatan bendungan melalui teropongnya. Ace dan tiga rekannya telah berada di ujung utara bendungan.

"Spy, ayo ambil motor. Kita segera memeriksa kesana", ajak Explorer sambil berlari menuju motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Spy menguntit di belakangnya.

"Armstrong, kau tampak sangat berantakan", komentar Ace pada Armstrong yang duduk bersandar di dinding batu. Jika diperhatikan dengan seksama, rekannya itu memang tampak jauh dari kata baik-baik saja. Memar tampak memenuhi wajahnya, seragamnya pun koyak di beberapa bagian.

"Aku hanya terlalu bersemangat tadi", jawab Armstrong sambil mengatur nafasnya dengan susah payah.

"Kau bertemu lawan sepadan?", tanya Ace menebak.

"Kapten Ringo lawan yang kuat dan cerdik", kata Armstrong. "Tetapi aku jauh lebih kuat", cengir Armstrong sambil menepukkan telapak tangan ke otot bisepsnya.

"Hahaha... Kau memang tak tertandingi dalam hal adu kekuatan", Ace berkata sambil ikut menepuk lengan rekannya.

"Yow, kalian ikut menyeberang?", tanya Explorer. Dia sudah duduk di atas Dagger Navi+ dan Spy sudah siap di atas Demon SPD-nya.

"Aku mau beristirahat sebentar", jawab Armstrong.

"Kalau begitu aku tinggal disini bersama Armstrong", timpal Ace.

"Wokeee...", tanpa basa-basi lebih lama, Explorer segera melajukan motornya dengan akselerasi spontan.

"Aku berangkat dulu, teman-teman", Spy berpamitan dulu sebelum melaju menyusul Explorer. Ace dan Armstrong melambaikan tangannya.

"Menurutmu...", kata Armstrong dengan nada serius. "Siapa yang akan sampai di ujung bendungan lebih dulu?", lanjutnya. Masih serius.

"Spy", jawab Ace singkat.

"Aku bertaruh secangkir kopi untuk Explorer", kata Armstrong.

* * * * *

No comments:

Post a Comment